Minggu, 28 November 2010

Askep Tonsilitis

TONSILITIS
Senin 29 November 2010
A.Pengertian
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman streptococcusi beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat juga disebabkan oleh virus, pada tonsilitis ada dua yaitu :
-Tonsilitis Akut dan
-Tonsilitis Kronik
B.Etiologi
Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes yang menjadi penyebab terbanyak dapat juga disebabkan oleh virus.
Faktor predisposis adanya rangsangan kronik (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan higiene, mulut yang buruk.


C.Patofisiologi
Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari golongan pneumokokus dan stafilokokus. Virus juga kadang – kadang ditemukan sebagai penyebab tonsilitis akut.
1.Pada Tonsilitis Akut
Penularan terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan Epitel kemudian bila Epitel ini terkikis maka jaringan Umfold superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfo nuklear.
2.Pada Tonsilitif Kronik
Terjadi karena proses radang berulang maka Epitel mukosa dan jaringan limpold terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limpold, diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan di isi oleh detritus proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul purlengtan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Jadi tonsil meradang dan membengkak, terdapat bercak abu – abu atau kekuningan pada permukaannya, dan jika berkumpul maka terbentuklah membran. Bercak – bercak tersebut sesungguhnya adalah penumpukan leukosit, sel epitel yang mati, juga kuman – kuman baik yang hidup maupun yang sudah mati.

D. Manisfestasi Klinis
Keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sakit menelan, dan kadang – kadang pasien tidak mau minum atau makan lewat mulut. Penderita tampak loyo dan mengeluh sakit pada otot dan persendian. Biasanya disertai demam tinggi dan napas yang berbau, yaitu :
• Suhu tubuh naik sampai 40 oC.
• Rasa gatal atau kering ditenggorokan.
• Lesu.
• Nyeri sendi, odinofagia.
• Anoreksia dan otolgia.
• Bila laring terkena suara akan menjadi serak.
• Tonsil membengkak.
• Pernapasan berbau.

E. Komplikasi
• Otitis media akut.
• Abses parafaring.
• Abses peritonsil.
• Bronkitis,
• Nefritis akut, artritis, miokarditis.
• Dermatitis.
• Pruritis.
• Furunkulosis.

F. Pemeriksaan Penunjang
• Kultur dan uji resistensi bila perlu.
• Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil.

G. Penatalaksanaan Medis
Sebaiknya pasien tirah baring. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup, serta makan – makanan yang berisi namun tidak terlalu padat dan merangsang tenggorokan. Analgetik diberikan untuk menurunkan demam dan mengurangi sakit kepala. Di pasaran banyak beredar analgetik (parasetamol) yang sudah dikombinasikan dengan kofein, yang berfungsi untuk menyegarkan badan.
Jika penyebab tonsilitis adalah bakteri maka antibiotik harus diberikan. Obat pilihan adalah penisilin. Kadang – kadang juga digunakan eritromisin. Idealnya, jenis antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil biakan. Antibiotik diberikan antara 5 sampai 10 hari.
Jika melalui biakan diketahui bahwa sumber infeksi adalah Streptokokus beta hemolitkus grup A, terapi antibiotik harus digenapkan 10 hari untuk mencegah kemungkinan komplikasi nefritis dan penyakit jantung rematik. Kadang – kadang dibutuhkan suntikan benzatin penisilin 1,2 juta unit intramuskuler jika diperkirakan pengobatan orang tidak adekuat.
• Terapi obat lokal untuk hegiene mulut dengan obat kumur atau obat isap.
• Antibiotik golongan penisilin atau sulfonamida selama 5 hari.
• Antipiretik.
• Obat kumur atau obat isap dengan desinfektan.
• Bila alergi pada penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamigin.

DAFTAR PUSTAKA
Belden MD. THT : www. emedicine. com. Last Updated 24 Juni 2003.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. FKUI. Jakarta.
Saten S. Chalazion. Taken From : www. emedicine. com. Last Updated : 5 Juli 2007

KONSEP DASAR TONSILITIS

A. Pengertian
1. Tonsilitis adalah suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri berlangsung sekitar lima hari dengan disertai disfagia dan demam (Megantara, Imam, 2006).
2. Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pygenes, dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer, A. 2000).
3. Tonsilitis kronik merupakan hasil dari serangan tonsillitis akut yang berulang.
Tonsil tidak mampu untuk mengalami resolusi lengkap dari suatu serangan akut kripta mempertahankan bahan purulenta dan kelenjar regional tetap membesar akhirnya tonsil memperlihatkan pembesaran permanen dan gambaran karet busa, bentuk jaringan fibrosa, mencegah pelepasan bahan infeksi (Sacharin, R.M. 1993).
4. Tonsilitis adalah radang yang disebabkan oleh infeksi bakteri kelompok A streptococcus beta hemolitik, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri jenis lain atau oleh infeksi virus (Hembing, 2004).
5. Tonsilitis adalah suatu peradangan pada hasil tonsil (amandel), yang sangat sering ditemukan, terutama pada anak-anak (www.mediastore.com, 2006).
6. Tonsilitis adalah inflamasi dari tonsil yang disebabkan oleh infeksi (www.mediastore.com, 2006).

B. Klasifikasi
Macam-macam tonsillitis menurut Imam Megantara (2006)
1. Tonsillitis akut
Disebabkan oleh streptococcus pada hemoliticus, streptococcus viridians, dan streptococcus piogynes, dapat juga disebabkan oleh virus.
2. Tonsilitis falikularis
Tonsil membengkak dan hiperemis, permukaannya diliputi eksudat diliputi bercak putih yang mengisi kipti tonsil yang disebut detritus.
Detritus ini terdapat leukosit, epitel yang terlepas akibat peradangan dan sisa-sisa makanan yang tersangkut.
3. Tonsilitis Lakunaris
Bila bercak yang berdekatan bersatu dan mengisi lacuna (lekuk-lekuk) permukaan tonsil.
4. Tonsilitis Membranosa (Septis sore Throat)
Bila eksudat yang menutupi permukaan tonsil yang membengkak tersebut menyerupai membrane. Membran ini biasanya mudah diangkat atau dibuang dan berwarna putih kekuning-kuningan.
5. Tonsilitis Kronik
Tonsillitis yang berluang, faktor predisposisi : rangsangan kronik (rokok, makanan) pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan hygiene mulut yang buruk.

C. Etiologi
Menurut Adams George (1999) Tonsilitis bakterialis supuralis akut. paling sering disebabkan oleh streptokokus beta hemolitikus grup A.
1. Pneumococcus
2. Staphilococcus
3. Haemalphilus influenza
4. Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens.
Menurut Iskandar N (1993) Bakteri merupakan penyebab pada 50 % kasus.
1. Streptococcus B hemoliticus grup A
2. Streptococcus viridens
3. Streptococcus pyogenes
4. Staphilococcus
5. Pneumococcus
6. Virus
7. Adenovirus
8. ECHO
9. Virus influenza serta herpes
Menurut Medicastore Firman S (2006) Penyebabnya adalah infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsillitis.

D. Patofisiologi
Menurut Iskandar N (1993) yaitu :
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakonaris.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengkapan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.

E. Pathway Keperawatan
Droplet Infection
Kuman, Streptoccocus Beta Hemoliticus group A
Rangsangan kronik (rokok, makanan, pengobatan yang tidak adekuat, hygiene mulut yang buruk
Sterpococcus viridians
Sterpococcus pygenes
Staphylococcus
Pneumococcus

Reaksi jaringan
Limfoid Superfisialis
Kerusakan Menelan
Komplikasi : miokarditis, pembesaran kelenjar limfe, submandibula septicemia
Tonsil bengkak dan Hiperemis
Nyeri akut paska Bedah
Tonsilitis membranosa
Tonsilitis Lakunaris
Cemas
Resiko Tinggi Infeksi
Tonsilektomi
Kurang Pengetahuan
Infeksi radang berulang …terus kemana panahnya
Menginfiltrasi lapisan epitel
Lapisan epitel terkikis
Nyeri akut
Pembendungan radang dengan Infiltrasi leukosit polimorfonuklear
Reaksi Sistemik
Tonsilitis Folokularis
Detritus melebar
Detritus berdekatan menjadi satu
Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Hipertermi
Pembentukan Detritus
Menyebar melalui :
Hematogen dan Limfogen

(Iskandar N, 1993)

F. Manifestasi Kinik
Menurut www.medicastore.com,2006
Gejalanya berupa nyeri tenggorokan (yang semakin parah jika penderita menelan) nyeri seringkali dirasakan ditelinga (karena tenggorokan dan telinga memiliki persyarafan yang sama).
Gejala lain :
1. Demam
2. Tidak enak badan
3. Sakit kepala
4. Muntah
Menurut Mansjoer, A 1999 :
1. Pasien mengeluh ada penghalang di tenggorokan
2. Tenggorokan terasa kering
3. Persarafan bau
4. Pada pemeriksaan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus membesar dan terisi detritus
5. Tidak nafsu makan
6. Mudah lelah
7. Nyeri abdomen
8. Pucat
9. Letargi
10. Nyeri kepala
11. Disfagia (sakit saat menelan)
12. Mual dan muntah
Gejala pada tonsillitis akut :
1. Rasa gatal / kering di tenggorokan
2. Lesu
3. Nyeri sendi
4. Odinafagia
5. Anoreksia
6. Otalgia
7. Suara serak (bila laring terkena)
8. Tonsil membengkak
Menurut Smelizer, Suzanne, 2000
Gejala yang timbul sakit tenggorokan, demam, ngorok, dan kesulitan menelan.
Menurut Hembing :
1) Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga menjadi parah, sakit saat menelan, kadang-kadang muntah.
2) Tonsil bengkak, panas, gatal, sakit pada otot dan sendi, nyeri pada seluruh badan, kedinginan, sakit kepala dan sakit pada telinga.
3) Pada tonsilitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluar nanah pada lekukan tonsil.
G. Pemeriksaan Penunjang menurut Firman S (2006) yaitu :
1) Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam tubuh pasien merupkan akteri gru A, karena grup ini disertai dengan demam renmatik, glomerulnefritis, dan demam jengkering.
2) Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
3) Terapi
Dengan menggunakan antibiotic spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik, dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
H. Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik menurut Mansjoer, A 1999 :
1. Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group A.
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga.
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel mastoid.
4. Laringitis
5. Sinusitis
6. Rhinitis

I. Penatalaksanaan / Pengobatan
Penatalaksanaan tonsilitis secara umum, menurut www.medicastore.com :
a) Jika penyebabnya bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
b) Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika :
1. Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
2. Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
3. Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
4. Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
Menurut Mansjoer, A 1999 :
a. Penatalaksanaan tonsilitis akut
1. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.
2. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
3. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
4. Pemberian antipiretik.
b. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
1. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
2. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil.
Tonsilektomi menurut Firman S (2006)
a. Perawatan Prabedah
Diberikan sedasi dan premedikasi, selain itu pasien juga harus dipuasakan, membebaskan anak dari infeksi pernafasan bagian atas.
b. Teknik Pembedahan
Anestesi umum selalu diberikan sebelum pembedahan, pasien diposisikan terlentang dengan kepala sedikit direndahkan dan leher dalam keadaan ekstensi mulut ditahan terbuka dengan suatu penutup dan lidah didorong keluar dari jalan. Penyedotan harus dapat diperoleh untuk mencegah inflamasi dari darah. Tonsil diangkat dengan diseksi / quillotine.
Metode apapun yang digunakan penting untuk mengangkat tonsil secara lengkap. Perdarahan dikendalikan dengan menginsersi suatu pak kasa ke dalam ruang post nasal yang harus diangkat setelah pembedahan. Perdarahan yang berlanjut dapat ditangani dengan mengadakan ligasi pembuluh darah pada dasar tonsil.
c. Perawatan Paska-bedah
1. Berbaringg ke samping sampai bangun kemudian posisi mid fowler.
2. Memantau tanda-tanda perdarahan
1) Menelan berulang
2) Muntah darah segar
3) Peningkatan denyut nadi pada saat tidur
3. Diet
1) Memberikan cairan bila muntah telah reda
a) Mendukung posisi untuk menelan potongan makanan yang besar (lebih nyaman dari ada kepingan kecil).
b) Hindari pemakaian sedotan (suction dapat menyebabkan perdarahan).
2) Menawarkan makanan
a) Es crem, crustard dingin, sup krim, dan jus.
b) Refined sereal dan telur setengah matang biasanya lebih dapat dinikmati pada pagi hari setelah perdarahan.
c) Hindari jus jeruk, minuman panas, makanan kasar, atau banyak bumbu selama 1 minggu.
3) Mengatasi ketidaknyamanan pada tenggorokan
a) Menggunakan ice color (kompres es) bila mau
b) Memberikan anakgesik (hindari aspirin)
c) Melaporkan segera tanda-tanda perdarahan.
d) Minum 2-3 liter/hari sampai bau mulut hilang.
4) Mengajari pasien mengenal hal berikut
a) Hindari latihan berlebihan, batuk, bersin, berdahak dan menyisi hidung segera selama 1-2 minggu.
b) Tinja mungkin seperti teh dalam beberapa hari karena darah yang tertelan.
c) Tenggorokan tidak nyaman dapat sedikit bertambah antara hari ke-4 dan ke-8 setelah operasi.

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
DENGAN TONSILITIS

A. Pengkajian
Focus pengkajian menurut Firman S (2006) yaitu :
a. Wawancara
1. Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsillitis)
2. Apakah pengobatan adekuat
3. Kapan gejala itu muncul
4. Apakah mempunyai kebiasaan merokok
5. Bagaimana pola makannya
6. Apakah rutin / rajin membersihkan mulut
b. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian (Doengoes, 1999)
1. Intergritas Ego
Gejala : Perasaan takut
Khawatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan kerja, dan keuangan.
Tanda : ansietas, depresi, menolak.
2. Makanan / Cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi, kebersihan gigi buruk.
3. Hygiene
Tanda : Kesulitan menelan
4. Nyeri / Keamanan
Tanda : gelisah, perilaku berhati-bati
Gejala : sakit tenggorokan kronis, penyebaran nyeri ke telinga
5. Pernapasan
Gejala : riwayat merokok / mengunyah tembakau, bekerja dengan serbuk kayu, debu.
Hasil pemerisaan fisik secara umum di dapat :
a) Pembesaran tonsil dan hiperemis
b) Letargi
c) Kesulitan menelan
d) Demam
e) Nyeri tenggorokan
f) Kebersihan mulut buruk
c. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan usap tenggorok
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum memberikan pengobatan, terutama bila keadaan memungkinkan. Dengan melakukan pemeriksaan ini kita dapat mengetahui kuman penyebab dan obat yang masih sensitif terhadapnya.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
Pre Operasi
1. Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
2. Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
4. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
5. Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman

Post Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
2. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
3. Kurang pengetahuan tentang diet berhubungan dengan kurang informasi.


C. Intervensi
Pre Operasi
Dx 1 : Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
NOC : Perawatan Diri : Makan
Tujuan : Setelah dlakukan tindakan keperawatan terapi menelan selama 3 x24 jam diharapkan tidak ada masalah dalam makan dengan skala 4 sehingga kerusakan menelan dapat diaaasi
Kriteria hasil :
a) Reflek makan
b) Tidak tersedak saat makan
c) Tidak batuk saat menelan
d) Usaha menelan secara normal
e) Menelan dengan nyaman
Skala : 1. Sangat bermasalah
2. Cukup bermasalah
3. Masalah sedang
4. Sedikit bermasalah
5. Tidak ada masalah
NIC : Terapi menelan
Intervensi :
1. Pantau gerakan lidah klien saat menelan
2. Hindari penggunaan sedotan minuman
3. Bantu pasien untuk memposisikan kepala fleksi ke depan untuk menyimpkan menelan.
4. Libatkan keluarga untuk memberikan dukungan dan penenangan pasien selama makan / minum obat.

Dx 2 : Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
NOC : Kontrol Nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dalam nyeri dengan skala 4 sehingga nyeri dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
a. Mengenali faktor penyebab.
b. Mengenali serangan nyeri.
c. Tindakan pertolongan non analgetik
d. Mengenali gejala nyeri
e. Melaporkan kontrol nyeri
Skala : 1. Ekstream
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak Ada
NIC : Menejemen Nyeri
Intervensi :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
2. Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan nafas dalam.
3. Berikan analgesik yang sesuai.
4. Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan.
5. Anjurkan pasien untuk istirahat.

Dx 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
NOC : Fluid balance
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nutrisi selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah nutrisi dengan skala 4 sehingga ketidak seimbangan nutrisi dapat teratasi
Kriteria hasil :
a. Adanya peningkatan BB sesuai tujuan
b. BB ideal sesuai tinggi badan
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Manajemen nutrisi
1. Berikan makanan yang terpilih
2. Kaji kemampuan klien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
3. Berikan makanan sedikit tapi sering
4. Berikan makanan selagi hangat dan dalam bentuk menarik.

Dx 4: Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
NOC : Termoregulasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan fever treatment selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dalam suhu tubuh dengan skala 4 sehingga suhu tubuh kembali normal atau turun.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Suhu kulit dalam batas normal
c. Nadi dan pernafasan dalam batas normal.
Skala : 1. Ekstrem
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
NIC : Fever Treatment
1. Monitor suhu sesering mungkin
2. Monitor warna, dan suhu kulit
3. Monitor tekanan darah, nadi, dan pernafasan.
4. Monitor intake dan output
5. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam.

Dx 5: Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman
NOC : Kontrol Cemas
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengurangan cemas selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dengan kecemasan dengan skala 4 sehingga rasa cemas dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
a. Ansietas berkurang
b. Monitor intensitas kecemasan
c. Mencari informasi untuk menurunkan kecemasn
d. Memanifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Pengurangan Cemas
1. Sediakan informasi yang sesungguhnya meliputi diagnosis, treatmen dan prognosis.
2. Tenaggkan anak / pasien.
3. Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan. (takhikardi, eskpresi cemas non verbal)
4. Berikan pengobatan untuk menurunkan cemas dengan cara yang tepat.
5. Instruksikan pasien untuk melakukan ternik relaksasi

Post Operasi
Dx 6 : Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
NOC : Level Nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah tentang nyeri dengan skala 4 sehingga nyeri dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
a. Melaporkan nyeri
b. Frekuensi nyeri.
c. Lamanya nyeri
d. Ekspresi wajah terhadap nyeri
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Menejemen Nyeri
Intervensi :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
2. Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan nafas dalam.
3. Berikan analgesik yang sesuai.
4. Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan.
5. Tingkatkan istirahat pasien.

Dx 7 : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif.
NOC: Kontrol Infeksi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kontrol infeksi selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada infeksi dengan skala 4 sehingga resiko infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
a. Dapat memonitor faktor resiko
b. Dapat memonitor perilaku individu yang menjadi faktor resiko
c. Mengembangkan keefektifan strategi untuk mengendalikan infeksi.
d. Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko.
Keterangan Skala :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
NIC: Kontrol Infeksi
a. Ajarkan teknik mencuci tangan dengan benar.
b. Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan.
c. Lakukan perawatan aseptik pada semua jalur IV.
d. Lakukan teknik perawatan luka yang tepat.

Dx 8 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mengenal informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengajaran pengobatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dengan kurang pengetahuan dengan skala 4 sehingga pengetahuan pasien dan keluarga dapat bertambah
NOC : Knowledge: Diet
a. Menyebutkan keuntungan dan diet yang
b. Menyebutkan makanan-makanan yang diperbolehkan
c. Menyebutkan makanan-makanan yang dilarang.
Ket: 1 : Tidak mengetahui
2 : Terbatas pengetahuannya
3 : Sedikit mengetahui
4 : Banyak pengetahuannya
5 : Intensif atau mengetahuinya secara kompleks
NIC : Pengajaran Pengobatan
1. Jelaskan kepada anak dan orang tua tentang tujuan obat.
2. Informasikan kepada anak akibat tidak minum obat.
3. Ajarkan anak untuk minum obat sesuai dnegan dosis.
4. Informasikan kepada anak dan keluarga tentang efek samping

D. Evaluasi
Dx 1 : Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
a. Reflek makan 4
b. Tidak tersedak saat makan 4
c. Tidak batuk saat menelan 4
d. Usaha menelan secara normal 4
e. Menelan dengan nyaman 4

Dx 2 : Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
a. Mengenali faktor penyebab. 4
b. Mengenali serangan nyeri. 4
c. Tindakan pertolongan non analgetik 4
d. Mengenali gejala nyeri 4
e. Melaporkan kontrol nyeri 4

Dx 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
a. Adanya peningkatan BB sesuai tujuan 4
b. BB ideal sesuai tinggi badan 4
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 4
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi. 4

Dx 4: Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
a. Suhu tubuh dalam rentang normal 4
b. Suhu kulit dalam batas normal 4
c. Nadi dan pernafasan dalam batas normal 4

Dx 5: Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman
a. Ansietas berkurang 4
b. Monitor intensitas kecemasan 4
c. Mencari informasi untuk menurunkan kecemasn 4
d. Memanifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada 4

Dx 6 : Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
a. Melaporkan nyeri 4
b. Frekuensi nyeri. 4
c. Lamanya nyeri 4
d. Ekspresi wajah terhadap nyeri 4

Dx 7 : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif.
a. Dapat memonitor faktor resiko 4
b. Dapat memonitor perilaku individu yang menjadi faktor resiko 4
c. Mengembangkan keefektifan strategi untuk mengendalikan infeksi 4
d. Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko 4

Dx 8 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.
a. Menyebutkan keuntungan dan diet yang baik 4
b. Menyebutkan makanan-makanan yang diperbolehkan 4
c. Menyebutkan makanan-makanan yang dilarang 4

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. 1997. BOISE Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:EGC.
Doengoes, Marilynn D. 1999. Rencana Asuhan Keparawatan. Jakarta:EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:Media Aeus Calpius.
Ngastiyah. 1997. Perawatan anak Sakit. Jakarta:EGC.
Pracy R, dkk.1985. Pelajaran Ringkasan Telinga hidung Tenggorokan. Jakarta:Gramedia.
Price, Silvia.1995.Patofisiologi Konsep Klinis Proses PenyakitJakarta:EGC.
Wilkinson, Judith.2000.Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria hasil NOC Edisi 7.Jakarta:EGC.
http://www.medicastore.com diakses tanggal 12 Juni 2008.
http://fkui.firmansriyono.org.com diakses tanggal 12 Juni 2008.
http://imammegantara.blogspot.com diakses tanggal 12 Juni 2008.

TONSILITIS
Senin 29 November 2010
A.Pengertian
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman streptococcusi beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat juga disebabkan oleh virus, pada tonsilitis ada dua yaitu :
-Tonsilitis Akut dan
-Tonsilitis Kronik
B.Etiologi
Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes yang menjadi penyebab terbanyak dapat juga disebabkan oleh virus.
Faktor predisposis adanya rangsangan kronik (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan higiene, mulut yang buruk.


C.Patofisiologi
Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari golongan pneumokokus dan stafilokokus. Virus juga kadang – kadang ditemukan sebagai penyebab tonsilitis akut.
1.Pada Tonsilitis Akut
Penularan terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan Epitel kemudian bila Epitel ini terkikis maka jaringan Umfold superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfo nuklear.
2.Pada Tonsilitif Kronik
Terjadi karena proses radang berulang maka Epitel mukosa dan jaringan limpold terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limpold, diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan di isi oleh detritus proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul purlengtan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Jadi tonsil meradang dan membengkak, terdapat bercak abu – abu atau kekuningan pada permukaannya, dan jika berkumpul maka terbentuklah membran. Bercak – bercak tersebut sesungguhnya adalah penumpukan leukosit, sel epitel yang mati, juga kuman – kuman baik yang hidup maupun yang sudah mati.

D. Manisfestasi Klinis
Keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sakit menelan, dan kadang – kadang pasien tidak mau minum atau makan lewat mulut. Penderita tampak loyo dan mengeluh sakit pada otot dan persendian. Biasanya disertai demam tinggi dan napas yang berbau, yaitu :
• Suhu tubuh naik sampai 40 oC.
• Rasa gatal atau kering ditenggorokan.
• Lesu.
• Nyeri sendi, odinofagia.
• Anoreksia dan otolgia.
• Bila laring terkena suara akan menjadi serak.
• Tonsil membengkak.
• Pernapasan berbau.

E. Komplikasi
• Otitis media akut.
• Abses parafaring.
• Abses peritonsil.
• Bronkitis,
• Nefritis akut, artritis, miokarditis.
• Dermatitis.
• Pruritis.
• Furunkulosis.

F. Pemeriksaan Penunjang
• Kultur dan uji resistensi bila perlu.
• Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil.

G. Penatalaksanaan Medis
Sebaiknya pasien tirah baring. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup, serta makan – makanan yang berisi namun tidak terlalu padat dan merangsang tenggorokan. Analgetik diberikan untuk menurunkan demam dan mengurangi sakit kepala. Di pasaran banyak beredar analgetik (parasetamol) yang sudah dikombinasikan dengan kofein, yang berfungsi untuk menyegarkan badan.
Jika penyebab tonsilitis adalah bakteri maka antibiotik harus diberikan. Obat pilihan adalah penisilin. Kadang – kadang juga digunakan eritromisin. Idealnya, jenis antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil biakan. Antibiotik diberikan antara 5 sampai 10 hari.
Jika melalui biakan diketahui bahwa sumber infeksi adalah Streptokokus beta hemolitkus grup A, terapi antibiotik harus digenapkan 10 hari untuk mencegah kemungkinan komplikasi nefritis dan penyakit jantung rematik. Kadang – kadang dibutuhkan suntikan benzatin penisilin 1,2 juta unit intramuskuler jika diperkirakan pengobatan orang tidak adekuat.
• Terapi obat lokal untuk hegiene mulut dengan obat kumur atau obat isap.
• Antibiotik golongan penisilin atau sulfonamida selama 5 hari.
• Antipiretik.
• Obat kumur atau obat isap dengan desinfektan.
• Bila alergi pada penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamigin.

DAFTAR PUSTAKA
Belden MD. THT : www. emedicine. com. Last Updated 24 Juni 2003.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. FKUI. Jakarta.
Saten S. Chalazion. Taken From : www. emedicine. com. Last Updated : 5 Juli 2007

KONSEP DASAR TONSILITIS

A. Pengertian
1. Tonsilitis adalah suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri berlangsung sekitar lima hari dengan disertai disfagia dan demam (Megantara, Imam, 2006).
2. Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pygenes, dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer, A. 2000).
3. Tonsilitis kronik merupakan hasil dari serangan tonsillitis akut yang berulang.
Tonsil tidak mampu untuk mengalami resolusi lengkap dari suatu serangan akut kripta mempertahankan bahan purulenta dan kelenjar regional tetap membesar akhirnya tonsil memperlihatkan pembesaran permanen dan gambaran karet busa, bentuk jaringan fibrosa, mencegah pelepasan bahan infeksi (Sacharin, R.M. 1993).
4. Tonsilitis adalah radang yang disebabkan oleh infeksi bakteri kelompok A streptococcus beta hemolitik, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri jenis lain atau oleh infeksi virus (Hembing, 2004).
5. Tonsilitis adalah suatu peradangan pada hasil tonsil (amandel), yang sangat sering ditemukan, terutama pada anak-anak (www.mediastore.com, 2006).
6. Tonsilitis adalah inflamasi dari tonsil yang disebabkan oleh infeksi (www.mediastore.com, 2006).

B. Klasifikasi
Macam-macam tonsillitis menurut Imam Megantara (2006)
1. Tonsillitis akut
Disebabkan oleh streptococcus pada hemoliticus, streptococcus viridians, dan streptococcus piogynes, dapat juga disebabkan oleh virus.
2. Tonsilitis falikularis
Tonsil membengkak dan hiperemis, permukaannya diliputi eksudat diliputi bercak putih yang mengisi kipti tonsil yang disebut detritus.
Detritus ini terdapat leukosit, epitel yang terlepas akibat peradangan dan sisa-sisa makanan yang tersangkut.
3. Tonsilitis Lakunaris
Bila bercak yang berdekatan bersatu dan mengisi lacuna (lekuk-lekuk) permukaan tonsil.
4. Tonsilitis Membranosa (Septis sore Throat)
Bila eksudat yang menutupi permukaan tonsil yang membengkak tersebut menyerupai membrane. Membran ini biasanya mudah diangkat atau dibuang dan berwarna putih kekuning-kuningan.
5. Tonsilitis Kronik
Tonsillitis yang berluang, faktor predisposisi : rangsangan kronik (rokok, makanan) pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan hygiene mulut yang buruk.

C. Etiologi
Menurut Adams George (1999) Tonsilitis bakterialis supuralis akut. paling sering disebabkan oleh streptokokus beta hemolitikus grup A.
1. Pneumococcus
2. Staphilococcus
3. Haemalphilus influenza
4. Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens.
Menurut Iskandar N (1993) Bakteri merupakan penyebab pada 50 % kasus.
1. Streptococcus B hemoliticus grup A
2. Streptococcus viridens
3. Streptococcus pyogenes
4. Staphilococcus
5. Pneumococcus
6. Virus
7. Adenovirus
8. ECHO
9. Virus influenza serta herpes
Menurut Medicastore Firman S (2006) Penyebabnya adalah infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsillitis.

D. Patofisiologi
Menurut Iskandar N (1993) yaitu :
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakonaris.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengkapan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.

E. Pathway Keperawatan
Droplet Infection
Kuman, Streptoccocus Beta Hemoliticus group A
Rangsangan kronik (rokok, makanan, pengobatan yang tidak adekuat, hygiene mulut yang buruk
Sterpococcus viridians
Sterpococcus pygenes
Staphylococcus
Pneumococcus

Reaksi jaringan
Limfoid Superfisialis
Kerusakan Menelan
Komplikasi : miokarditis, pembesaran kelenjar limfe, submandibula septicemia
Tonsil bengkak dan Hiperemis
Nyeri akut paska Bedah
Tonsilitis membranosa
Tonsilitis Lakunaris
Cemas
Resiko Tinggi Infeksi
Tonsilektomi
Kurang Pengetahuan
Infeksi radang berulang …terus kemana panahnya
Menginfiltrasi lapisan epitel
Lapisan epitel terkikis
Nyeri akut
Pembendungan radang dengan Infiltrasi leukosit polimorfonuklear
Reaksi Sistemik
Tonsilitis Folokularis
Detritus melebar
Detritus berdekatan menjadi satu
Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Hipertermi
Pembentukan Detritus
Menyebar melalui :
Hematogen dan Limfogen

(Iskandar N, 1993)

F. Manifestasi Kinik
Menurut www.medicastore.com,2006
Gejalanya berupa nyeri tenggorokan (yang semakin parah jika penderita menelan) nyeri seringkali dirasakan ditelinga (karena tenggorokan dan telinga memiliki persyarafan yang sama).
Gejala lain :
1. Demam
2. Tidak enak badan
3. Sakit kepala
4. Muntah
Menurut Mansjoer, A 1999 :
1. Pasien mengeluh ada penghalang di tenggorokan
2. Tenggorokan terasa kering
3. Persarafan bau
4. Pada pemeriksaan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus membesar dan terisi detritus
5. Tidak nafsu makan
6. Mudah lelah
7. Nyeri abdomen
8. Pucat
9. Letargi
10. Nyeri kepala
11. Disfagia (sakit saat menelan)
12. Mual dan muntah
Gejala pada tonsillitis akut :
1. Rasa gatal / kering di tenggorokan
2. Lesu
3. Nyeri sendi
4. Odinafagia
5. Anoreksia
6. Otalgia
7. Suara serak (bila laring terkena)
8. Tonsil membengkak
Menurut Smelizer, Suzanne, 2000
Gejala yang timbul sakit tenggorokan, demam, ngorok, dan kesulitan menelan.
Menurut Hembing :
1) Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga menjadi parah, sakit saat menelan, kadang-kadang muntah.
2) Tonsil bengkak, panas, gatal, sakit pada otot dan sendi, nyeri pada seluruh badan, kedinginan, sakit kepala dan sakit pada telinga.
3) Pada tonsilitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluar nanah pada lekukan tonsil.
G. Pemeriksaan Penunjang menurut Firman S (2006) yaitu :
1) Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam tubuh pasien merupkan akteri gru A, karena grup ini disertai dengan demam renmatik, glomerulnefritis, dan demam jengkering.
2) Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
3) Terapi
Dengan menggunakan antibiotic spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik, dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
H. Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik menurut Mansjoer, A 1999 :
1. Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group A.
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga.
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel mastoid.
4. Laringitis
5. Sinusitis
6. Rhinitis

I. Penatalaksanaan / Pengobatan
Penatalaksanaan tonsilitis secara umum, menurut www.medicastore.com :
a) Jika penyebabnya bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
b) Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika :
1. Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
2. Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
3. Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
4. Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
Menurut Mansjoer, A 1999 :
a. Penatalaksanaan tonsilitis akut
1. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.
2. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
3. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
4. Pemberian antipiretik.
b. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
1. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
2. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil.
Tonsilektomi menurut Firman S (2006)
a. Perawatan Prabedah
Diberikan sedasi dan premedikasi, selain itu pasien juga harus dipuasakan, membebaskan anak dari infeksi pernafasan bagian atas.
b. Teknik Pembedahan
Anestesi umum selalu diberikan sebelum pembedahan, pasien diposisikan terlentang dengan kepala sedikit direndahkan dan leher dalam keadaan ekstensi mulut ditahan terbuka dengan suatu penutup dan lidah didorong keluar dari jalan. Penyedotan harus dapat diperoleh untuk mencegah inflamasi dari darah. Tonsil diangkat dengan diseksi / quillotine.
Metode apapun yang digunakan penting untuk mengangkat tonsil secara lengkap. Perdarahan dikendalikan dengan menginsersi suatu pak kasa ke dalam ruang post nasal yang harus diangkat setelah pembedahan. Perdarahan yang berlanjut dapat ditangani dengan mengadakan ligasi pembuluh darah pada dasar tonsil.
c. Perawatan Paska-bedah
1. Berbaringg ke samping sampai bangun kemudian posisi mid fowler.
2. Memantau tanda-tanda perdarahan
1) Menelan berulang
2) Muntah darah segar
3) Peningkatan denyut nadi pada saat tidur
3. Diet
1) Memberikan cairan bila muntah telah reda
a) Mendukung posisi untuk menelan potongan makanan yang besar (lebih nyaman dari ada kepingan kecil).
b) Hindari pemakaian sedotan (suction dapat menyebabkan perdarahan).
2) Menawarkan makanan
a) Es crem, crustard dingin, sup krim, dan jus.
b) Refined sereal dan telur setengah matang biasanya lebih dapat dinikmati pada pagi hari setelah perdarahan.
c) Hindari jus jeruk, minuman panas, makanan kasar, atau banyak bumbu selama 1 minggu.
3) Mengatasi ketidaknyamanan pada tenggorokan
a) Menggunakan ice color (kompres es) bila mau
b) Memberikan anakgesik (hindari aspirin)
c) Melaporkan segera tanda-tanda perdarahan.
d) Minum 2-3 liter/hari sampai bau mulut hilang.
4) Mengajari pasien mengenal hal berikut
a) Hindari latihan berlebihan, batuk, bersin, berdahak dan menyisi hidung segera selama 1-2 minggu.
b) Tinja mungkin seperti teh dalam beberapa hari karena darah yang tertelan.
c) Tenggorokan tidak nyaman dapat sedikit bertambah antara hari ke-4 dan ke-8 setelah operasi.

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
DENGAN TONSILITIS

A. Pengkajian
Focus pengkajian menurut Firman S (2006) yaitu :
a. Wawancara
1. Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsillitis)
2. Apakah pengobatan adekuat
3. Kapan gejala itu muncul
4. Apakah mempunyai kebiasaan merokok
5. Bagaimana pola makannya
6. Apakah rutin / rajin membersihkan mulut
b. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian (Doengoes, 1999)
1. Intergritas Ego
Gejala : Perasaan takut
Khawatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan kerja, dan keuangan.
Tanda : ansietas, depresi, menolak.
2. Makanan / Cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi, kebersihan gigi buruk.
3. Hygiene
Tanda : Kesulitan menelan
4. Nyeri / Keamanan
Tanda : gelisah, perilaku berhati-bati
Gejala : sakit tenggorokan kronis, penyebaran nyeri ke telinga
5. Pernapasan
Gejala : riwayat merokok / mengunyah tembakau, bekerja dengan serbuk kayu, debu.
Hasil pemerisaan fisik secara umum di dapat :
a) Pembesaran tonsil dan hiperemis
b) Letargi
c) Kesulitan menelan
d) Demam
e) Nyeri tenggorokan
f) Kebersihan mulut buruk
c. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan usap tenggorok
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum memberikan pengobatan, terutama bila keadaan memungkinkan. Dengan melakukan pemeriksaan ini kita dapat mengetahui kuman penyebab dan obat yang masih sensitif terhadapnya.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
Pre Operasi
1. Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
2. Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
4. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
5. Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman

Post Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
2. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
3. Kurang pengetahuan tentang diet berhubungan dengan kurang informasi.


C. Intervensi
Pre Operasi
Dx 1 : Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
NOC : Perawatan Diri : Makan
Tujuan : Setelah dlakukan tindakan keperawatan terapi menelan selama 3 x24 jam diharapkan tidak ada masalah dalam makan dengan skala 4 sehingga kerusakan menelan dapat diaaasi
Kriteria hasil :
a) Reflek makan
b) Tidak tersedak saat makan
c) Tidak batuk saat menelan
d) Usaha menelan secara normal
e) Menelan dengan nyaman
Skala : 1. Sangat bermasalah
2. Cukup bermasalah
3. Masalah sedang
4. Sedikit bermasalah
5. Tidak ada masalah
NIC : Terapi menelan
Intervensi :
1. Pantau gerakan lidah klien saat menelan
2. Hindari penggunaan sedotan minuman
3. Bantu pasien untuk memposisikan kepala fleksi ke depan untuk menyimpkan menelan.
4. Libatkan keluarga untuk memberikan dukungan dan penenangan pasien selama makan / minum obat.

Dx 2 : Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
NOC : Kontrol Nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dalam nyeri dengan skala 4 sehingga nyeri dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
a. Mengenali faktor penyebab.
b. Mengenali serangan nyeri.
c. Tindakan pertolongan non analgetik
d. Mengenali gejala nyeri
e. Melaporkan kontrol nyeri
Skala : 1. Ekstream
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak Ada
NIC : Menejemen Nyeri
Intervensi :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
2. Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan nafas dalam.
3. Berikan analgesik yang sesuai.
4. Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan.
5. Anjurkan pasien untuk istirahat.

Dx 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
NOC : Fluid balance
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nutrisi selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah nutrisi dengan skala 4 sehingga ketidak seimbangan nutrisi dapat teratasi
Kriteria hasil :
a. Adanya peningkatan BB sesuai tujuan
b. BB ideal sesuai tinggi badan
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Manajemen nutrisi
1. Berikan makanan yang terpilih
2. Kaji kemampuan klien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
3. Berikan makanan sedikit tapi sering
4. Berikan makanan selagi hangat dan dalam bentuk menarik.

Dx 4: Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
NOC : Termoregulasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan fever treatment selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dalam suhu tubuh dengan skala 4 sehingga suhu tubuh kembali normal atau turun.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Suhu kulit dalam batas normal
c. Nadi dan pernafasan dalam batas normal.
Skala : 1. Ekstrem
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
NIC : Fever Treatment
1. Monitor suhu sesering mungkin
2. Monitor warna, dan suhu kulit
3. Monitor tekanan darah, nadi, dan pernafasan.
4. Monitor intake dan output
5. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam.

Dx 5: Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman
NOC : Kontrol Cemas
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengurangan cemas selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dengan kecemasan dengan skala 4 sehingga rasa cemas dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
a. Ansietas berkurang
b. Monitor intensitas kecemasan
c. Mencari informasi untuk menurunkan kecemasn
d. Memanifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Pengurangan Cemas
1. Sediakan informasi yang sesungguhnya meliputi diagnosis, treatmen dan prognosis.
2. Tenaggkan anak / pasien.
3. Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan. (takhikardi, eskpresi cemas non verbal)
4. Berikan pengobatan untuk menurunkan cemas dengan cara yang tepat.
5. Instruksikan pasien untuk melakukan ternik relaksasi

Post Operasi
Dx 6 : Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
NOC : Level Nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah tentang nyeri dengan skala 4 sehingga nyeri dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
a. Melaporkan nyeri
b. Frekuensi nyeri.
c. Lamanya nyeri
d. Ekspresi wajah terhadap nyeri
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Menejemen Nyeri
Intervensi :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
2. Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan nafas dalam.
3. Berikan analgesik yang sesuai.
4. Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan.
5. Tingkatkan istirahat pasien.

Dx 7 : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif.
NOC: Kontrol Infeksi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kontrol infeksi selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada infeksi dengan skala 4 sehingga resiko infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
a. Dapat memonitor faktor resiko
b. Dapat memonitor perilaku individu yang menjadi faktor resiko
c. Mengembangkan keefektifan strategi untuk mengendalikan infeksi.
d. Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko.
Keterangan Skala :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
NIC: Kontrol Infeksi
a. Ajarkan teknik mencuci tangan dengan benar.
b. Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan.
c. Lakukan perawatan aseptik pada semua jalur IV.
d. Lakukan teknik perawatan luka yang tepat.

Dx 8 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mengenal informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengajaran pengobatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak ada masalah dengan kurang pengetahuan dengan skala 4 sehingga pengetahuan pasien dan keluarga dapat bertambah
NOC : Knowledge: Diet
a. Menyebutkan keuntungan dan diet yang
b. Menyebutkan makanan-makanan yang diperbolehkan
c. Menyebutkan makanan-makanan yang dilarang.
Ket: 1 : Tidak mengetahui
2 : Terbatas pengetahuannya
3 : Sedikit mengetahui
4 : Banyak pengetahuannya
5 : Intensif atau mengetahuinya secara kompleks
NIC : Pengajaran Pengobatan
1. Jelaskan kepada anak dan orang tua tentang tujuan obat.
2. Informasikan kepada anak akibat tidak minum obat.
3. Ajarkan anak untuk minum obat sesuai dnegan dosis.
4. Informasikan kepada anak dan keluarga tentang efek samping

D. Evaluasi
Dx 1 : Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
a. Reflek makan 4
b. Tidak tersedak saat makan 4
c. Tidak batuk saat menelan 4
d. Usaha menelan secara normal 4
e. Menelan dengan nyaman 4

Dx 2 : Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
a. Mengenali faktor penyebab. 4
b. Mengenali serangan nyeri. 4
c. Tindakan pertolongan non analgetik 4
d. Mengenali gejala nyeri 4
e. Melaporkan kontrol nyeri 4

Dx 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
a. Adanya peningkatan BB sesuai tujuan 4
b. BB ideal sesuai tinggi badan 4
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 4
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi. 4

Dx 4: Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
a. Suhu tubuh dalam rentang normal 4
b. Suhu kulit dalam batas normal 4
c. Nadi dan pernafasan dalam batas normal 4

Dx 5: Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman
a. Ansietas berkurang 4
b. Monitor intensitas kecemasan 4
c. Mencari informasi untuk menurunkan kecemasn 4
d. Memanifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada 4

Dx 6 : Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
a. Melaporkan nyeri 4
b. Frekuensi nyeri. 4
c. Lamanya nyeri 4
d. Ekspresi wajah terhadap nyeri 4

Dx 7 : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif.
a. Dapat memonitor faktor resiko 4
b. Dapat memonitor perilaku individu yang menjadi faktor resiko 4
c. Mengembangkan keefektifan strategi untuk mengendalikan infeksi 4
d. Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko 4

Dx 8 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.
a. Menyebutkan keuntungan dan diet yang baik 4
b. Menyebutkan makanan-makanan yang diperbolehkan 4
c. Menyebutkan makanan-makanan yang dilarang 4

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. 1997. BOISE Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:EGC.
Doengoes, Marilynn D. 1999. Rencana Asuhan Keparawatan. Jakarta:EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:Media Aeus Calpius.
Ngastiyah. 1997. Perawatan anak Sakit. Jakarta:EGC.
Pracy R, dkk.1985. Pelajaran Ringkasan Telinga hidung Tenggorokan. Jakarta:Gramedia.
Price, Silvia.1995.Patofisiologi Konsep Klinis Proses PenyakitJakarta:EGC.
Wilkinson, Judith.2000.Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria hasil NOC Edisi 7.Jakarta:EGC.
http://www.medicastore.com diakses tanggal 12 Juni 2008.
http://fkui.firmansriyono.org.com diakses tanggal 12 Juni 2008.
http://imammegantara.blogspot.com diakses tanggal 12 Juni 2008.

Baca selengkapnya......

Askep Rabies

Disusun Oleh :
Nama : Sigit Purnomo
TK : 2A
Nim : PO. 032 0109 032

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BENGKULU
PRODI KEPERAWATAN CURUP
Jalan Sapta Marga Desa Teladan Curup
Tahun Ajaran 2010 / 2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.
Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan binatang. Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain melalui cakaran hewan, sekresi yang mengkontaminasi membrane mukosa, virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf, dan menyebar hingga system saraf pusat, dan dapat menyebabkan encephalomyelitis (radang yang mengenai otak dan medulla spinalis)
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan.perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Oleh karena itu diperlukan tindakan penanganan yang efektif dan efisien baik penanganan profilaksis pra pajanan maupun penanganan pasca pajanan.Sehingga akibat buruk akibat virus ini dapat diminimalkan. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum
Untuk dapat menjelaskan penyakit rabies mulai dari definisi, etiologi, epidemiologi, perjalanan penyakit hingga penanganan dan prognosis dari penyakit ini.
1.2.2 Tujuan Khusus
1) Untuk Melengkapi tugas mata kuliah Epidemiologi Keperawatan
2) Memenuhi nilai standar yang ada dikampus STIKES Darul Azhar Batulicin
3) Bahan pembelajaran seminar
4) Memperdalam permasalahan dan menghubungkannya dengan promosi kesehatan


BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1 Pengertian
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing, dan kera.
Klasifikasi
Order : Mononegavirales
Famili : Rhabdoviridae
Genom : Lyssavirus
Spesies : Rhabdovirus (Virus Rabies)
Rabies adalah suatu penyakit infeksi virus akut pada susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia yang selalu fatal, yang ditularkan langsung kepada manusia dari hewan yang terinfeksi.melalui gigitan atau kulit yang terluka yang terpapar dengan air liur hewan itu. Penyakit ini tergolong Zoonosis.Hewan penular yang paling sering adalah anjing (90%), sehingga di Indonesia disebut juga penyakit Anjing Gila. Hewan lain yang bisa menularkan adalah kucing, kera, raccoon, dan kelelawar. Diseluruh dunia penyakit ini menyebabkan lebih dari 30.000 orang meninggal setiap tahunnya.

2.2 Etiologi
Adapun penyebab dari rabies adalah :
• Virus rabies.
• Gigitan hewan atau manusia yang terkena rabies
• Air liur hewan atau manusia yang terkena rabies.
Kuman penyebabnya adalah golongan Virus genus Lyssa-virus, famili Rhabdoviridae yang berbentuk seperti peluru dengan diameter 75 - 80 nm.Virus ini masuk kedalam aliran darah manusia lewat luka gigitan hewan terinfeksi melalui air liur (saliva). Virus bergerak dari luka gigitan melalui serabut saraf menuju ke otak, yang kemudian akan menyebabkan terjadinya peradangan otak (ensefalitis), iritasi dan pembengkakan yang akan menyebabkan timbulnya gejala-gejala penyaki
2.2.1 Struktur
Virus rabies atau Rhabdovirus merupakan salah satu virus yang mempunyai sifat morfologik dan biokimiawi yang lazim dengan virus somatis vesikuler sapi dan beberapa virus hewan, tanaman, dan serangga. Virus rabies dan jenis virus lainnya terdiri dari dua komponen dasar, yaitu sebuah inti dari asam nukleat yang disebut genom dan yang mengelilingi protein yang disebut kapsid.
Rhabdovirus merupakan partikel berbentuk batang atau peluru berdiameter 75 nm x panjang 180 nm. Partikel dikelilingi oleh selubung selaput dengan duri yang menonjol yang panjangnya 10 nm, dan terdiri dari glikoprotein tunggal.

Genom beruntai tunggal, RNA negative-sense (12 kb; BM 4,6 x 106) yang berbentuk linear dan tidak bersegmen. Sebuah virus rabies yang lengkap diluar inang (virion) mengandung polimerase RNA. Komposisi dari virus rabies ini adalah RNA sebanyak 4%, protein sebanyak 67%, lipid sebanyak 26%, dan karbohidrat sebanyak 3%. Rhabdovirus melakukan replikasi dalam sitoplasma dan virion bertunas dari selaput plasma. Karakter yang menonjol dari
Rhabdovirus ini merupakan virus yang bersusun luas dengan rentang inang yang lebar. Virus ini merupakan jenis virus uang mematikan. Kapsid melindungi genom dan juga memberikan bentuk pada virus.

2.3 Patofisiologi
Virus rabies terdapat dalam air liur hewan yang terinfeksi. Hewan ini menularkan infeksi kepada hewan lainnya atu manusia melalui gigitan dan kadang melalui jilatan.Virus akan berpindah dari tempatnya masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, dimana mereka berkembangbiak.
Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf menuju ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.Banyak hewan yang bisa menularkan rabies kepada manusia. Yang paling sering menjadi sumber dari rabies adalah anjing;
Semua hewan berdarah panas rentan dengan Rabies. Penyakit Rabies secara alami terdapat pada:
• Anjing
• Kucing
• Kera
• Kelelawar
Karnivora Liar
Pertama-tama, virus rabies ini akan melekat atau menempel pada dinding sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukan ke dalam sel inang. Pada tahap penetrasi, virus telah masuk kedalam sel inang dan melakukan penyatuan diri dengan sel inang yang ia tempati. Lalu terjadilah transkripsi dan translasi. Genom RNA untai tunggal direkam oleh polymerase RNA terkait, virion menjadi lima spesies mRNA. mRNAs monosistronik ini menyandi untuk lima protein virion.
Genom ini merupakan cetakan untuk perantara replikatif yang menimbulkan pembentukan RNA keturunan. RNA genomik berhubungan dengan transkriptase virus, fosfoprotein dan nukleoprotein. Setelah enkapsidasi, partikel berbentuk peluru mendapatkan selubung melalui pertunasan yang melewati selaput plasma. Protein matriks virus membentuk lapisan pada sisi dalam selubung, sementara glikoprotein virus berada pada selaput luar dan membentuk duri. Setelah bagian-bagian sel lengkap, sel virus tadi menyatukan diri kembali dan membentuk virus yang baru. Setelah itu virus keluar dari sel inang dan menginfeksi sel inang yang lainnya.
Keseluruhan proses dalam siklus hidup virus rabies ini terjadi dalam sitoplasma. Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasidan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler dan menyebar sampai ke susunan saraf pusat. Virus membelah diri disini dan kemudian menyebar melalui saraf tepi ke kelenjar ludah dan jaringan lain. Kepekaan terhadap infeksi dan masa inkubasinya bergantung pada latar belakang genetik inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus pada sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari titik masuk ke susunan saraf pusat. Terdapat angka serangan yang lebih tinggi dan masa inkubasi yang lebih pendek pada orang yang digigit pada wajah atau kepala. Virus rabies menghasilkan inklusi sitoplasma eosinofilik spesifik, badan Negri, dalam sel saraf yang terinfeksi. Adanya inklusi seperti ini bersifat patognomonik rabies tetapi tidak terlihat pada sedikitnya 20% kasus. Karena itu, tidak adanya badan Negri tidak menyingkirkan diagnosis rabies. (Lihat Gambar)
hewan lainnya yang juga bisa menjadi sumber penularan rabies adalah kucing, kelelawar, rakun, sigung, rubah.Rabies pada anjing masih sering ditemukan di Amerika Latin, Afrika dan Asia, karena tidak semua hewan peliharaan mendapatkan vaksinasi untuk penyakit ini.Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas atau rabies jinak.Pada rabies buas, hewan yang terkena tampak gelisah dan ganas, kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada rabies jinak, sejak awal telah terjadi kelumpuhan lokal atau kelumpuhan total.Meskipun sangat-sangat jarang, rabies bisa ditularkan melalui penghirupan udara yang tercemar.Telah dilaporkan 2 kasus yang terjadi pada penjelajah yang menghirup udara di dalam goa dimana banyak terdapat kelelawar.

2.4 Penularan dan Penyebaran
Diseluruh dunia, anjing merupakan hewan yang paling berisiko untuk menularkan rabies kepada manusia.Di Amerika dan Inggeris sudah meluas dan ekstensif program vaksinasi terhadap hewan piaraan.
Inggeris telah berhasil mengeradikasi rabies, dan tidak diizinkan membawa hewan piaraan ke Inggeris sebelum menjalani karantina 6 bulan.
Di Indonesia, rabies diduga telah lama ada, namun laporan resmi ditulis pertama kali oleh Penning di Jawa Barat, tahun 1889. Peraturan tentang rabies telah ada sejak tahun 1926 (Hondsdolsheid Ordonansi Nomor 451 dan 452), diikuti oleh Staatsblad 1928 Nomor 180, SK Bersama Tiga Menteri (Pertanian, Kesehatan, dan Dalam Negeri) tahun 1978, dan Pedoman Khusus dari Menteri Pertanian (1982). Sebelum Perang Dunia II, selain Jawa Barat rabies hanya ditemukan di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Pada 1945-1980,rabies ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan (1959), Lampung (1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), dan Kalimantan Tengah (1978). Ambon, Flores, Palangkaraya, dan Papua adalah sebagian daerah endemik rabies.
Tahun 1960, Prof AA Ressang, mantan guru besar Kesehatan Masyarakat Veteriner UI (sekarang IPB), mengungkapkan bahwa rabies adalah "the Incurable Indonesian Wound" (luka Indonesia yang tidak kunjung sembuh) dalam jurnal Com.Vet 4:1. Ungkapan di atas ternyata masih berlaku sampai kini. Dari data pada penulis, tahun 1997 sampai 2003 dilaporkan lebih dari 86.000 kasus gigitan tersangka Rabies (rata-rata 12.400 kasus pertahun) dan yang terbukti Rabies 538 orang (rata-rata 76 kasus pertahun). Di Medan, yang diketahui penulis sepanjang tahun 2007, ditemukan lebih dari 60 kasus gigitan anjing yang tersangka rabies.

2.5 Manifestasi Klinis
Ada 4 stadium:
 pertama, Stadium prodromal, biasanya 1 - 4 hari dengan demam yang tidak begitu tinggi, nyeri pada daerah bekas gigitan, rasa lesu. Gejala ini tidak spesifik, sama seperti pada penyakit lainnya.
 Stadium kedua disebut Ensefalitis akut (peradangan otak) yg timbul setelah beberapa hari setelah timbul gejala prodromal dengan kejang, halusinasi, kejang pada otot pinggang, dan otot anggota gerak, keluar air mata yang berlebihan, dan sekresi air liur juga berlebihan.
 Stadium ketiga disebut Disfungsi batang otak, tejadi gangguan saraf pusat berupa : pandangan double (diplopia), kelumpuhan saraf muka, hidrofobia, yaitu bila penderita diberi air minum, pasien menerimanya oleh karena haus, tetapi kehendak ini dihalangi oleh spasme/kejang yang hebat dari otot tenggorokan, kontraksi otot faring dan otot pernafasan sehingga pasien merasa takut terhadap air.
 Stadium keempat, Stadium Koma dan terjadinya kematian atau sembuh, tapi hampir seluruh pasien berakhir dengan kematian.
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun. Masa inkubasi biasanya paling pendek pada orang yang digigit pada kepala, tempat yang tertutup celana pendek, atau bila gigitan terdapat di banyak tempat.Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam.
Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan air liur. Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebankan rasa sakit luar biasa.

Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bias menyebabkan kekejangan ini.Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum.Karena hal inilah, maka penyakit ini kadang-kadang juga disebut hidrofobia (takut air).
Gejala infeksi rabies dapat timbul beberapa hari bahkan lebih dari satu tahun setelah gigitan.Gejala pertama yang khas adalah rasa kejang pada daerah sekitar luka gigitan/tempat masuknya virus.Sering kali gejala ini diikuti oleh demam, sakit kepala, sakit otot, hilang nafsu makan, nausea dan kelelahan.
Seiring berjalannya infeksi akan timbul gejala-gejala lainnya berupa:
• Keresahan berlebihan
• Gerakan berlebihan atau agitasi]
• Halusinasi
• Agresivitas
• Pikiran-pikiran yang tidak normal
• Otot gemetar
• Kejang-kejang
• Kelemahan/kelumpuhan sebagian anggota tubuh
• Reaksi kepekaan berlebihan terhadap cahaya, suara, sentuhan dan air
• Produksi air liur yang berlebihan
• Kesulitan berbicara
Pada tahap terparah infeksi seiring menyebarnya virus ke seluruh tubuh, maka timbul gejala sebagai berikut:
3 Pengelihatan ganda
4 Kesulitan pergerakan otot-otot muka
5 Abnormalitas pergerakan diafragma dan otot-otot pernapasan
6 Kesulitan menelan dan produksi air liur berlebihan, menyebabkan timbulnya busa pada mulut
7 Kelumpuhan seluruh tubuh
8 Kematian
2.6 Diagnosa Banding
Rabies harus difikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus dan pada awalnya akan menerima air dan minum, yang akhirnya menyebabkan spasme laring.
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia.Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.
Rabies paralitik dapar dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik. Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 – 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.
1. Intoksikasi obat-obatan
Keracunan obat-obatan dapat memperlihatkan gejala yang mirip dengan rabies misalnya koma (intoksikasi obat hipnotik), pupil midriasis dan anisokor (intoksikasi atropin atau morfin), kejang (intoksikasi amfetamin), hambatan pada pusat napas (intoksikasi insektisida), hingga henti jantung (intoksikasi antidepresan trisiklik dan digitalis).Seluruh gejala ini dapat ditemukan pada rabies jika virus telah menyerang susunan saraf pusat.Anamnesis yang cermat dan teliti diperlukan untuk membedakan kedua kelainan ini.
2. Ensefalitis
Rabies sendiri dapat menyebabkan ensefalitis karena virus sehingga gejala yang muncul sangat mirip misalnya prilaku yang tidak normal, perubahan kepribadian, kejang, sakit kepala, dan fotofobia.Alergi terhadap vaksin rabies juga dapat menyebabkan ensefalitis.Anamnesis mengenai riwayat digigt hewan, kontak dengan saliva, serta bepergian ke daerah endemik rabies dapat menegakkan diagnosis.
3. Tetanus
Seperti rabies, tetanus juga dapat menyebabkan demam, nyeri dan parestesia di sekitar luka dan kejang.Akan tetapi kejang pada tetanus sifatnya tonik dan adanya kontak dengan hewan liar dapat membedakan keduanya.
4. Histerikal pseudorabies
Reaksi berlebihan karena digigit hewan yang terjadi segera setelah penderita kontak dengan hewan sedangkan pada rabies tidak demikian karena adanya masa inkubasi.
5. Poliomielitis
Mirip dengan rabies tipe paralitik akan tetapi pada poliomyelitis terdapat demam dan kelumpuhan yang bersifat asimetrik, arefleksi, dan atrofi otot (gejala LMN).

Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus, enterovirus, dan arbovirus.Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster dan enterovirus seperti coxsackievirus, echovirus, poliovirus, dan enterovirus manusia 68 hingga 71.Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geograpi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa.

2.7 Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma.Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung.Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi.Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.

2.8 Penanganan luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies.Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran 0.1%.luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.

2.8.1 Profilaksis pasca – paparan
Dasar vaksinasipost- exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit.neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu ;
1) Nerve Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBC);
2) Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine(PVRV).

Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross Intradermal (TRC- ID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.

2.8.2 Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan, penyelidik gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan mendapatkan pencegahan pre- exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun. Efek samping/komplikasi vaksinasi.
Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian kompres lokal pad tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan kejang.Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan saraf.Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang yang hipersensitif.Pada keadaan ini vaksinasi harus dihentikan dan penderita diberikankortikosteroid dosis tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap.Pada pemberian HDCV dapat terjadi gejala seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang.Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dialporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness.Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada sekitar 20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM mengalami reaksi mirip- kompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis, nausea, vomitus, dan kadang-kadang angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh sendiri dan tampaknya dihubungkan dengan adanya β-propriolakton-albumin serum manusia yang berubah dalam vaksin dan timbulnya antibodi IgE terhadap antigen ini. Individu yang bekerja pada area resiko tinggi sebaiknya mendapat pengukuran antibodi secara periodik, dan dosis booster dianjurkan untuk mereka dengan titer antibodi yang rendah.Mereka dengan resiko yang sangat rendah dapat memilih untuk tidak menerima dosis booster rutin tapi hanya menerima imunisasi aktif dengan substansi yang mana saja.

2.9 Prognosis
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.

2.10 Pemeriksaan Fisik
Palpasi : Apakah ada kaku kuduk atau tidak?
• Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ?
• Adakah pembesaran lien dan hepar ?
Auskultasi : Adakah suara napas tambahan ?
• Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ?
• Adakah bunyi tambahan ?
• Adakah bradicardi atau tachycardia ?
• Peristaltik usus ?
Perkusi : Apakah ada distensi abdomen?
• Infeksi : Amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale ?
• Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?

2.a.1 Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
5. Darah rutin : dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000 – 13000/mm3) dan penurunan hemoglobin serta hemtokrit.
6. Urinalisis : dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.
7. Mikrobiologi : Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2 minggu setelah onset.
8. Histologi : dapat ditemukan tanda patognomonik berupa Negri bodies (badan inklusi dalam sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus yang divaksinasi dan pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu.
9. Serologi : Dengan mendeteksi RNA virus dari saliva pasien dengan menggunakan polymerase chain reactions (PCR).
10. Cairan serebrospinal : dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan glukosa dalam batas normal.

2.a.2 Uji laboratorium
1. Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler.
2. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematocrit.
3. Panel elektrolit.
4. Skrining toksik dari serum dan urin.
5. GDA
6. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl) 7. BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat. 8. Elektrolit : K, NaKetidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang, 9. Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl ) 10. Natrium ( N 135 – 144 meq/dl. b. Tindakan Pengobatan 1) Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang digigit hewan yang menderita rabies kemungkian tidak akan menderita rabies. Orang yang digigit kelinci dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun, rubah, dan kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut mungkin saja terinfeksi rabies. 2) Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka gigitan sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan sabun, tusukan yang dalam disemprot dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita yang belum pernah mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan immunoglobulin rabies, dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan. 3) Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam setelah menjalani vaksinasi. 4) Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka risiko menderita rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin (pada hari 0 dan 2). 5) Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies diduga tidak dapat dihindarkan, tetapi beberapa orang penderita selamat. Mereka dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk diawasi terhadap gejala-gejala pada paru-paru, jantung, dan otak. Pemberian vaksin maupun imunoglobulin rabies tampaknya efektif jika suatu saat penderita menunjukkan gejala-gejala rabies. 2.b.1 Vaksinasi 2.b.1.1 Pasca Paparan (Post exposure) Secara garis besar ada 2 tipe Vaksin Anti Rabies (VAR), yaitu : a) Nerve Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet, atau bersal dari otak bayi hewan mencit, seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBV). b) Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV) 2.11.1.2 Vaksinasi Pra Paparan (Pre exposure) Untuk menghindari infeksi virus rabies, disamping memberikan VAR setelah digigit hewan tersangka rabies, pencegahan lebih dini juga dapat dilakukan dengan memberikan suntikan yang sama, tetapi dengan waktu, cara, dan dosis yang berbeda melalui profilaksis para paparan. Individu yang berisiko tinggi untuk kontak dengan virus rabies, seperti dokter hewan yang bertugas menghadapi hewan berisiko, petugas kebun binatang, petugas karantina hewan, penangkap binatang, petugas laboratorium yang bekerja dengan virus rabies, dokter dan perawat yang menangani penderita rabies, wisatawan yang berkunjung ke daerah endemis rabies seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, dan Sri langka. c. Pencegahan Untuk mencegah infeksi pada penderita yang terpapar dengan virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies, harus dilakukan perawatan luka gigitan yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan immunoglobulin.Vaksinasi perlu juga diberikan kepada individu yang berisiko tertular rabies. Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :  Dokter hewan.  Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi.  Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan.  Para penjelajah gua kelelawar.  Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun. dapat dilakukan dengan cara: f. Vaksinasi secara teratur anjing, kucing, kera dan binatang peliharaan lainnya yang berpotensi menularkan rabies melalui gigitan, dan melakukan recording vaksinasi g. Mengendalikan tingkah laku hewan peliharaan terutama anjing penjaga dari orang yang asing bagi hewan tersebut agar tidak terprovokasi untuk menggigit dengan merantainya, kecuali bila memang orang asing tersebut bermaksud tidak baik h. Tidak membiarkan hewan peliharaan berkeliaran di luar rumah i. Penertiban hewan-hewan liar dengan mengurangi jumlah populasi hewan liar j. Tidak memasukkan hewan berisiko penular rabies tanpa izin di daerah yang bebas rabies k. Bangkai hewan terinfeksi harus dikremasi/dibakar atau dikubur sedalam-dalamnya setelah didiagnosa positif. l. Vaksinasi kepada orang yang berisiko tinggi tertular rabies seperti dokter hewan, paramedis hewan, petugas lab yang menangani hewan terinfeksi, orang yang menetap selama 30 hari atau lebih di daerah tertular rabies serta para penjelajah alam dan gua kelelawar d. Penanganan Luka Pengobatan yang segera terhadap luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies.Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan pembersihan luka dan diberi desinfektan seperti alkohol, yodium, atau lainnya.Luka robek akibat gigitan hewan yang tersangka rabies tidak dibenarkan dijahit, kecuali keadaan memaksa, dapat dilakukan jahitan sementara.Diberikan juga ATS profilaksis dan antibiotik untuk infeksi bakteri pada luka. Jika seseorang digigit atau memiliki luka yang terkena air liur atau cairan tubuh hewan baik yang dicurigai menderita rabies ataupun tidak, harus dilakukan langkah-langkah pencegahan infeksi sebagai berikut: • Cuci luka gigitan atau yang terkena cairan tubuh hewan tersebut dengan sabun atau deterjen pada air yang mengalir selama sepuluh menit atau lebih. Dianjurkan untuk menggunakan air bersih, kemudian dibalut dengan perban • Segera bawa ke dokter atau rumah sakit terdekat untuk mendapat perawatan lebih lanjut. • Jika berada di daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan, luka dicuci selama mungkin dan tidak boleh dijahit karena akan memperbanyak ujung-ujung syaraf yang terbuka sebagai tempat masuknya virus kedalam sistem syaraf. Gunakan antiseptik. • Melapor kepada Dinas Peternakan atau Dinas Kesehatan setempat dan hewan yang dicurigai sebaiknya dipisahkan dan dikarantina untuk diobservasi selama setidaknya 30 hari untuk mengetahui apakah terinfeksi rabies atau tidak. BAB III KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RABIES I. PENGKAJIAN A. Pengkajian mengenai: a) Status Pernafasan b) Peningkatan tingkat pernapasan c) Takikardi d) Suhu umumnya meningkat (37,9º C) e) Menggigil f) Status Nutrisi g) kesulitan dalam menelan makanan h) berapa berat badan pasien i) mual dan muntah j) porsi makanan dihabiskan k) status gizi l) Status Neurosensori m) Adanya tanda-tanda inflamasi n) Keamanan o) Kejang p) Kelemahan q) Integritas Ego r) Klien merasa cemas s) Klien kurang paham tentang penyakitnya B. Pengkajian Fisik Neurologik : a. Tanda – tanda vital  Suhu  Pernapasan  Denyut jantung  Tekanan darah  Tekanan nadi C. Hasil pemeriksaan kepala  Fontanel : menonjol, rata, cekung  Bentuk Umum Kepala D. Reaksi pupil  Ukuran  Reaksi terhadap cahaya  Kesamaan respon E. Tingkat kesadaran  Kewaspadaan : respon terhadap panggilan  Iritabilitas  Letargi dan rasa mengantuk  Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain  Afek  Alam perasaan  Labilitas F. Aktivitas kejang  Jenis  Lamanya G. Fungsi sensoris  Reaksi terhadap nyeri  Reaksi terhadap suhu H. Refleks  Refleks tendo superfisial  Reflek patologi 3 Diagnosa Keperawatan 1) Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia 2) Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan penurunan refleks menelan 3) Demam berhubungan dengan viremia 4) Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi 5) Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan 6) Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka 4 Intervensi No. Dx. Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional 1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien bernafas tanpa ada gangguan, dengan kriteria hasil :  pasien bernafas,tanpa ada gangguan.  pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas  respirasi normal (16-20 X/menit) a. Obsevasi tanda- tanda vital pasien terutama respirasi b. Beri pasien alat bantu pernafasan seperti O2. c. Beri posisi yang nyaman. d. Tanda vital merupakan acuan untuk melihat kondisi pasien. e. O2 membantu pasien dalam bernafas. f. posisi yang nyaman akan membantu pasien dalam bernafas. 2. Gangguan pola nutrisi berhubungn dengan penurunan refleks menelan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, dengan kriteria hasil :  pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan /dibutuhkan. a. Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien. b. Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan. c. Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur. d. Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering. e. Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari. f. Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter. g. Ukur berat badan pasien setiap minggu. i. Untuk menetapkan cara mengatasinya. ii. Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien. iii. Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan iv. Untuk menghindari mual v. Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi. vi. Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah dan diharapkan intake nutrisi pasien meningkat. vii. Untuk mengetahui status gizi pasien 3. Demam berhubungan dengan viremia. Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan demam pasien teratasi, dengan criteria hasil :  Suhu tubuh normal (36 – 370C).  Pasien bebas dari demam. a. Kaji saat timbulnya demam. b. Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam c. Berikan kompres hangat d. Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter. I. untuk mengidentifikasi pola demam pasien. II. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien. III. dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan dan mempercepat penurunan suhu tubuh. IV. Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi. 4. Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi tentang penyakit. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan tingkat kecemasan keluarga pasien menurun/hilang,dengan kriteria hasil :  Melaporkan cemas berkurang sampai hilang  Melaporkan pengetahuan yang cukup terhadap penyakit pasien  Keluarga menerima keadaan panyakit yang dialami pasien. a. Kaji tingkat kecemasan keluarga. b. Jelaskan kepada keluarga tentang penyakit dan kondisi pasien. c. Berikan dukungan dan support kepada keluarga pasien. I. Untuk mengetahui tingkat cemas,dan mengambil cara apa yang akan digunakan II. informasi yang benar tentang kondisi pasien akan mengurangi tingkat kecemasan keluarga. III. Dengan dukungan dan support,akan mengurangi rasa cemas keluarga pasien. 5. Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan. Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien tidak mengalami cedera,dengan kriteria hasil :  Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang  klien tidur dengan tempat tidur pengama  Tidak terjadi serangan kejang ulang.  Suhu 36 – 37,5 º C , Nadi 60-80x/menit, Respirasi 16-20 x/menit  Kesadaran composmentis a. Identifikasi dan hindari faktor pencetus b. tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai pengaman di ruang yang tenang dan nyaman. c. anjurkan klien istirahat d. sediakan disamping tempat tidur tongue spatel dan gudel untuk mencegah lidah jatuh ke belakng apabila klien kejang. e. lindungi klien pada saat kejang dengan : I. longgarakn pakaian II. posisi miring ke satu sisi III. jauhkan klien dari alat yang dapat melukainya IV. kencangkan pengaman tempat tidur V. lakukan suction bila banyak secret f. catat penyebab mulainya kejang, proses berapa lama, adanya sianosis dan inkontinesia, deviasi dari mata dan gejala-hgejala lainnya yang timbul. g. sesudah kejang observasi TTV setiap 15-30 menit dan obseervasi keadaan klien sampai benar-benar pulih dari kejang. h. observasi efek samping dan keefektifan obat. i. observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan irama jantung. j. lakukan pemeriksaan neurologis setelah kejang k. kerja sama dengan tim : I. pemberian obat antikonvulsan dosis tinggi II. pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin, phenobarbital) III. pemberian oksigen tambahan l. pemberian cairan parenteral m. pembuatan CT scan 1. Penemuan faktor pencetus untuk memutuskan rantai penyebaran virus rabies. 2. empat yang nyaman dan tenang dapat mengurangi stimuli atau rangsangan yang dapat menimbulkan kejang 3. efektivitas energi yang dibutuhkan untuk metabolisme. 4. lidah jatung dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. n. Tindakan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya cedera fisik.dokumentasi untuk pedoman dalam penaganan berikutnya. I. tanda-tanda vital indikator terhadap perkembangan penyakitnya dan gambaran status umum klien. o. efek samping dan efektifnya obat diperlukan motitoring untuk tindakan lanjut. i.kompliksi kejang dapat terjadi depresi pernafasan dan kelainan irama jantung. p. kompliksi kejang dapat terjadi depresi pernafasan dan kelainan irama jantung. q. untuk mengantisipasi kejang, kejang berulang dengan menggunakan obat antikonvulsan baik berupa bolus, syringe pump. 6. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka Setelah diberikan tindakan keperawatan 3X24 jam diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi. Kriteria Hasil:  Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti: o Kalor,dubor,tumor,dolor,dan fungsionalasia.  TTV dalam batas normal a. Kaji tanda – tanda infeksi b. Pantau TTV,terutama suhu tubuh c. Ajarkan teknik aseptik pada pasien d. Cuci tangan sebelum memberi asuhan keperawatan ke pasien. e. Lakukan perawatan luka yang steril. I. a.Untuk mengetahui apakah pasian mengalami infeksi. Dan untuk menentukan tindakan keperawatan berikutnya. II. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahuikeadaan umum pasien. Perubahan suhu menjadi tinggi merupakan salah satu tanda – tanda infeksi. III. Meminimalisasi terjadinya infeksi IV. Mencegah terjadinya infeksi nosokomial. V. Perawatan luka yang steril meminimalisasi terjadinya infeksi. 5 Evaluasi • Dx 1 : o pasien tidak mengalami gangguan dalam bernafas o pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas. • Dx 2 : o Pasien tidak mengalami gangguan dalam makan dan minum. o Pasien bisa menelan dengan baik. Pasien tidak mengalami penurunan berat badan. • Dx 3 : o Suhu pasien normal (36-370C) o Pasien tidak mengeluh demam • Dx 4 : o Keluarga pasien tidak cemas lagi. o Keluarga pasien bisa memahami kondisi pasiendan ikut membantu dalam pemberian pengobatan. • Dx 5 : o Pasien tidak mengalami cedera. o Pasien tidak mengalami kejang • Dx 6 : o Tidak ada tanda – tanda infeksi seperti : kalor,dolor,tumor,dubor,dan fungsionalasia. o Luka pasien terjaga dan teraway BAB IV PENUTUP DAN KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan 1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. 2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit. 3. Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies. 4. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi. dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. 5. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. 6. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) jarang, sembuh. 7. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan.perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. 8. Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf pusat. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006, Rhabdoviruses, www.tulane.edu, diakses tanggal 3 Februari 2008. Anonim, 2006, Penyakit Anjing Gila, www.jakarta.go.id, diakses tanggal 3 Februari 2008. Anonim, 2007, The Big Picture Book of Viruses: Rhabdoviridae, www.virology.net, diakses tanggal 3 Febuari 2008 Anonim, 2007, Rhabdoviridae, www.wikipedia.org, diakses tanggal 3 Februari 2008 Anonim, 2007, Rabies, www.wikipedia.org, diakses tanggal 3 Februari 2008 Elcamo, E. I., 1997, Fundamentals of Microbiology, The Benjamin Cummings Publishing Company, New York Irga, 2008, Rabies, www.inwanashari.blogspot.com, diakses tanggal 29 April 2008 Jawelz,E., et. al., 1986, Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Rohiman dan Nurtjahjo, 1985, Vaksin Anti-Rabies (Human Diploid Cell) dan Kegunaannya Bagi Manusia, Medika Jurnal Kedokteran Farmasi, Jakarta BETZ CECILY L, SOWDEN LINDA A. (2002). BUKU SAKU KEPERAWATAN PEDIATRI. JAKARTA : EGC. Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa : Maulanny R.F. Jakarta : EGC. Arjatmo T.(2001). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : gaya baru Kejang Pada Anak. www. Pediatrik.com/knal.php Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta Santosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta. Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas Airlangga,Surabaya.

Disusun Oleh :
Nama : Sigit Purnomo
TK : 2A
Nim : PO. 032 0109 032

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BENGKULU
PRODI KEPERAWATAN CURUP
Jalan Sapta Marga Desa Teladan Curup
Tahun Ajaran 2010 / 2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.
Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan binatang. Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain melalui cakaran hewan, sekresi yang mengkontaminasi membrane mukosa, virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf, dan menyebar hingga system saraf pusat, dan dapat menyebabkan encephalomyelitis (radang yang mengenai otak dan medulla spinalis)
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan.perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Oleh karena itu diperlukan tindakan penanganan yang efektif dan efisien baik penanganan profilaksis pra pajanan maupun penanganan pasca pajanan.Sehingga akibat buruk akibat virus ini dapat diminimalkan. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum
Untuk dapat menjelaskan penyakit rabies mulai dari definisi, etiologi, epidemiologi, perjalanan penyakit hingga penanganan dan prognosis dari penyakit ini.
1.2.2 Tujuan Khusus
1) Untuk Melengkapi tugas mata kuliah Epidemiologi Keperawatan
2) Memenuhi nilai standar yang ada dikampus STIKES Darul Azhar Batulicin
3) Bahan pembelajaran seminar
4) Memperdalam permasalahan dan menghubungkannya dengan promosi kesehatan


BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1 Pengertian
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing, dan kera.
Klasifikasi
Order : Mononegavirales
Famili : Rhabdoviridae
Genom : Lyssavirus
Spesies : Rhabdovirus (Virus Rabies)
Rabies adalah suatu penyakit infeksi virus akut pada susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia yang selalu fatal, yang ditularkan langsung kepada manusia dari hewan yang terinfeksi.melalui gigitan atau kulit yang terluka yang terpapar dengan air liur hewan itu. Penyakit ini tergolong Zoonosis.Hewan penular yang paling sering adalah anjing (90%), sehingga di Indonesia disebut juga penyakit Anjing Gila. Hewan lain yang bisa menularkan adalah kucing, kera, raccoon, dan kelelawar. Diseluruh dunia penyakit ini menyebabkan lebih dari 30.000 orang meninggal setiap tahunnya.

2.2 Etiologi
Adapun penyebab dari rabies adalah :
• Virus rabies.
• Gigitan hewan atau manusia yang terkena rabies
• Air liur hewan atau manusia yang terkena rabies.
Kuman penyebabnya adalah golongan Virus genus Lyssa-virus, famili Rhabdoviridae yang berbentuk seperti peluru dengan diameter 75 - 80 nm.Virus ini masuk kedalam aliran darah manusia lewat luka gigitan hewan terinfeksi melalui air liur (saliva). Virus bergerak dari luka gigitan melalui serabut saraf menuju ke otak, yang kemudian akan menyebabkan terjadinya peradangan otak (ensefalitis), iritasi dan pembengkakan yang akan menyebabkan timbulnya gejala-gejala penyaki
2.2.1 Struktur
Virus rabies atau Rhabdovirus merupakan salah satu virus yang mempunyai sifat morfologik dan biokimiawi yang lazim dengan virus somatis vesikuler sapi dan beberapa virus hewan, tanaman, dan serangga. Virus rabies dan jenis virus lainnya terdiri dari dua komponen dasar, yaitu sebuah inti dari asam nukleat yang disebut genom dan yang mengelilingi protein yang disebut kapsid.
Rhabdovirus merupakan partikel berbentuk batang atau peluru berdiameter 75 nm x panjang 180 nm. Partikel dikelilingi oleh selubung selaput dengan duri yang menonjol yang panjangnya 10 nm, dan terdiri dari glikoprotein tunggal.

Genom beruntai tunggal, RNA negative-sense (12 kb; BM 4,6 x 106) yang berbentuk linear dan tidak bersegmen. Sebuah virus rabies yang lengkap diluar inang (virion) mengandung polimerase RNA. Komposisi dari virus rabies ini adalah RNA sebanyak 4%, protein sebanyak 67%, lipid sebanyak 26%, dan karbohidrat sebanyak 3%. Rhabdovirus melakukan replikasi dalam sitoplasma dan virion bertunas dari selaput plasma. Karakter yang menonjol dari
Rhabdovirus ini merupakan virus yang bersusun luas dengan rentang inang yang lebar. Virus ini merupakan jenis virus uang mematikan. Kapsid melindungi genom dan juga memberikan bentuk pada virus.

2.3 Patofisiologi
Virus rabies terdapat dalam air liur hewan yang terinfeksi. Hewan ini menularkan infeksi kepada hewan lainnya atu manusia melalui gigitan dan kadang melalui jilatan.Virus akan berpindah dari tempatnya masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, dimana mereka berkembangbiak.
Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf menuju ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.Banyak hewan yang bisa menularkan rabies kepada manusia. Yang paling sering menjadi sumber dari rabies adalah anjing;
Semua hewan berdarah panas rentan dengan Rabies. Penyakit Rabies secara alami terdapat pada:
• Anjing
• Kucing
• Kera
• Kelelawar
Karnivora Liar
Pertama-tama, virus rabies ini akan melekat atau menempel pada dinding sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukan ke dalam sel inang. Pada tahap penetrasi, virus telah masuk kedalam sel inang dan melakukan penyatuan diri dengan sel inang yang ia tempati. Lalu terjadilah transkripsi dan translasi. Genom RNA untai tunggal direkam oleh polymerase RNA terkait, virion menjadi lima spesies mRNA. mRNAs monosistronik ini menyandi untuk lima protein virion.
Genom ini merupakan cetakan untuk perantara replikatif yang menimbulkan pembentukan RNA keturunan. RNA genomik berhubungan dengan transkriptase virus, fosfoprotein dan nukleoprotein. Setelah enkapsidasi, partikel berbentuk peluru mendapatkan selubung melalui pertunasan yang melewati selaput plasma. Protein matriks virus membentuk lapisan pada sisi dalam selubung, sementara glikoprotein virus berada pada selaput luar dan membentuk duri. Setelah bagian-bagian sel lengkap, sel virus tadi menyatukan diri kembali dan membentuk virus yang baru. Setelah itu virus keluar dari sel inang dan menginfeksi sel inang yang lainnya.
Keseluruhan proses dalam siklus hidup virus rabies ini terjadi dalam sitoplasma. Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasidan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler dan menyebar sampai ke susunan saraf pusat. Virus membelah diri disini dan kemudian menyebar melalui saraf tepi ke kelenjar ludah dan jaringan lain. Kepekaan terhadap infeksi dan masa inkubasinya bergantung pada latar belakang genetik inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus pada sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari titik masuk ke susunan saraf pusat. Terdapat angka serangan yang lebih tinggi dan masa inkubasi yang lebih pendek pada orang yang digigit pada wajah atau kepala. Virus rabies menghasilkan inklusi sitoplasma eosinofilik spesifik, badan Negri, dalam sel saraf yang terinfeksi. Adanya inklusi seperti ini bersifat patognomonik rabies tetapi tidak terlihat pada sedikitnya 20% kasus. Karena itu, tidak adanya badan Negri tidak menyingkirkan diagnosis rabies. (Lihat Gambar)
hewan lainnya yang juga bisa menjadi sumber penularan rabies adalah kucing, kelelawar, rakun, sigung, rubah.Rabies pada anjing masih sering ditemukan di Amerika Latin, Afrika dan Asia, karena tidak semua hewan peliharaan mendapatkan vaksinasi untuk penyakit ini.Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas atau rabies jinak.Pada rabies buas, hewan yang terkena tampak gelisah dan ganas, kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada rabies jinak, sejak awal telah terjadi kelumpuhan lokal atau kelumpuhan total.Meskipun sangat-sangat jarang, rabies bisa ditularkan melalui penghirupan udara yang tercemar.Telah dilaporkan 2 kasus yang terjadi pada penjelajah yang menghirup udara di dalam goa dimana banyak terdapat kelelawar.

2.4 Penularan dan Penyebaran
Diseluruh dunia, anjing merupakan hewan yang paling berisiko untuk menularkan rabies kepada manusia.Di Amerika dan Inggeris sudah meluas dan ekstensif program vaksinasi terhadap hewan piaraan.
Inggeris telah berhasil mengeradikasi rabies, dan tidak diizinkan membawa hewan piaraan ke Inggeris sebelum menjalani karantina 6 bulan.
Di Indonesia, rabies diduga telah lama ada, namun laporan resmi ditulis pertama kali oleh Penning di Jawa Barat, tahun 1889. Peraturan tentang rabies telah ada sejak tahun 1926 (Hondsdolsheid Ordonansi Nomor 451 dan 452), diikuti oleh Staatsblad 1928 Nomor 180, SK Bersama Tiga Menteri (Pertanian, Kesehatan, dan Dalam Negeri) tahun 1978, dan Pedoman Khusus dari Menteri Pertanian (1982). Sebelum Perang Dunia II, selain Jawa Barat rabies hanya ditemukan di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Pada 1945-1980,rabies ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan (1959), Lampung (1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), dan Kalimantan Tengah (1978). Ambon, Flores, Palangkaraya, dan Papua adalah sebagian daerah endemik rabies.
Tahun 1960, Prof AA Ressang, mantan guru besar Kesehatan Masyarakat Veteriner UI (sekarang IPB), mengungkapkan bahwa rabies adalah "the Incurable Indonesian Wound" (luka Indonesia yang tidak kunjung sembuh) dalam jurnal Com.Vet 4:1. Ungkapan di atas ternyata masih berlaku sampai kini. Dari data pada penulis, tahun 1997 sampai 2003 dilaporkan lebih dari 86.000 kasus gigitan tersangka Rabies (rata-rata 12.400 kasus pertahun) dan yang terbukti Rabies 538 orang (rata-rata 76 kasus pertahun). Di Medan, yang diketahui penulis sepanjang tahun 2007, ditemukan lebih dari 60 kasus gigitan anjing yang tersangka rabies.

2.5 Manifestasi Klinis
Ada 4 stadium:
 pertama, Stadium prodromal, biasanya 1 - 4 hari dengan demam yang tidak begitu tinggi, nyeri pada daerah bekas gigitan, rasa lesu. Gejala ini tidak spesifik, sama seperti pada penyakit lainnya.
 Stadium kedua disebut Ensefalitis akut (peradangan otak) yg timbul setelah beberapa hari setelah timbul gejala prodromal dengan kejang, halusinasi, kejang pada otot pinggang, dan otot anggota gerak, keluar air mata yang berlebihan, dan sekresi air liur juga berlebihan.
 Stadium ketiga disebut Disfungsi batang otak, tejadi gangguan saraf pusat berupa : pandangan double (diplopia), kelumpuhan saraf muka, hidrofobia, yaitu bila penderita diberi air minum, pasien menerimanya oleh karena haus, tetapi kehendak ini dihalangi oleh spasme/kejang yang hebat dari otot tenggorokan, kontraksi otot faring dan otot pernafasan sehingga pasien merasa takut terhadap air.
 Stadium keempat, Stadium Koma dan terjadinya kematian atau sembuh, tapi hampir seluruh pasien berakhir dengan kematian.
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun. Masa inkubasi biasanya paling pendek pada orang yang digigit pada kepala, tempat yang tertutup celana pendek, atau bila gigitan terdapat di banyak tempat.Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam.
Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan air liur. Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebankan rasa sakit luar biasa.

Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bias menyebabkan kekejangan ini.Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum.Karena hal inilah, maka penyakit ini kadang-kadang juga disebut hidrofobia (takut air).
Gejala infeksi rabies dapat timbul beberapa hari bahkan lebih dari satu tahun setelah gigitan.Gejala pertama yang khas adalah rasa kejang pada daerah sekitar luka gigitan/tempat masuknya virus.Sering kali gejala ini diikuti oleh demam, sakit kepala, sakit otot, hilang nafsu makan, nausea dan kelelahan.
Seiring berjalannya infeksi akan timbul gejala-gejala lainnya berupa:
• Keresahan berlebihan
• Gerakan berlebihan atau agitasi]
• Halusinasi
• Agresivitas
• Pikiran-pikiran yang tidak normal
• Otot gemetar
• Kejang-kejang
• Kelemahan/kelumpuhan sebagian anggota tubuh
• Reaksi kepekaan berlebihan terhadap cahaya, suara, sentuhan dan air
• Produksi air liur yang berlebihan
• Kesulitan berbicara
Pada tahap terparah infeksi seiring menyebarnya virus ke seluruh tubuh, maka timbul gejala sebagai berikut:
3 Pengelihatan ganda
4 Kesulitan pergerakan otot-otot muka
5 Abnormalitas pergerakan diafragma dan otot-otot pernapasan
6 Kesulitan menelan dan produksi air liur berlebihan, menyebabkan timbulnya busa pada mulut
7 Kelumpuhan seluruh tubuh
8 Kematian
2.6 Diagnosa Banding
Rabies harus difikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus dan pada awalnya akan menerima air dan minum, yang akhirnya menyebabkan spasme laring.
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia.Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.
Rabies paralitik dapar dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik. Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 – 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.
1. Intoksikasi obat-obatan
Keracunan obat-obatan dapat memperlihatkan gejala yang mirip dengan rabies misalnya koma (intoksikasi obat hipnotik), pupil midriasis dan anisokor (intoksikasi atropin atau morfin), kejang (intoksikasi amfetamin), hambatan pada pusat napas (intoksikasi insektisida), hingga henti jantung (intoksikasi antidepresan trisiklik dan digitalis).Seluruh gejala ini dapat ditemukan pada rabies jika virus telah menyerang susunan saraf pusat.Anamnesis yang cermat dan teliti diperlukan untuk membedakan kedua kelainan ini.
2. Ensefalitis
Rabies sendiri dapat menyebabkan ensefalitis karena virus sehingga gejala yang muncul sangat mirip misalnya prilaku yang tidak normal, perubahan kepribadian, kejang, sakit kepala, dan fotofobia.Alergi terhadap vaksin rabies juga dapat menyebabkan ensefalitis.Anamnesis mengenai riwayat digigt hewan, kontak dengan saliva, serta bepergian ke daerah endemik rabies dapat menegakkan diagnosis.
3. Tetanus
Seperti rabies, tetanus juga dapat menyebabkan demam, nyeri dan parestesia di sekitar luka dan kejang.Akan tetapi kejang pada tetanus sifatnya tonik dan adanya kontak dengan hewan liar dapat membedakan keduanya.
4. Histerikal pseudorabies
Reaksi berlebihan karena digigit hewan yang terjadi segera setelah penderita kontak dengan hewan sedangkan pada rabies tidak demikian karena adanya masa inkubasi.
5. Poliomielitis
Mirip dengan rabies tipe paralitik akan tetapi pada poliomyelitis terdapat demam dan kelumpuhan yang bersifat asimetrik, arefleksi, dan atrofi otot (gejala LMN).

Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus, enterovirus, dan arbovirus.Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster dan enterovirus seperti coxsackievirus, echovirus, poliovirus, dan enterovirus manusia 68 hingga 71.Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geograpi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa.

2.7 Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma.Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung.Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi.Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.

2.8 Penanganan luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies.Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran 0.1%.luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.

2.8.1 Profilaksis pasca – paparan
Dasar vaksinasipost- exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit.neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu ;
1) Nerve Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBC);
2) Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine(PVRV).

Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross Intradermal (TRC- ID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.

2.8.2 Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan, penyelidik gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan mendapatkan pencegahan pre- exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun. Efek samping/komplikasi vaksinasi.
Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian kompres lokal pad tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan kejang.Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan saraf.Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang yang hipersensitif.Pada keadaan ini vaksinasi harus dihentikan dan penderita diberikankortikosteroid dosis tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap.Pada pemberian HDCV dapat terjadi gejala seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang.Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dialporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness.Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada sekitar 20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM mengalami reaksi mirip- kompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis, nausea, vomitus, dan kadang-kadang angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh sendiri dan tampaknya dihubungkan dengan adanya β-propriolakton-albumin serum manusia yang berubah dalam vaksin dan timbulnya antibodi IgE terhadap antigen ini. Individu yang bekerja pada area resiko tinggi sebaiknya mendapat pengukuran antibodi secara periodik, dan dosis booster dianjurkan untuk mereka dengan titer antibodi yang rendah.Mereka dengan resiko yang sangat rendah dapat memilih untuk tidak menerima dosis booster rutin tapi hanya menerima imunisasi aktif dengan substansi yang mana saja.

2.9 Prognosis
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.

2.10 Pemeriksaan Fisik
Palpasi : Apakah ada kaku kuduk atau tidak?
• Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ?
• Adakah pembesaran lien dan hepar ?
Auskultasi : Adakah suara napas tambahan ?
• Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ?
• Adakah bunyi tambahan ?
• Adakah bradicardi atau tachycardia ?
• Peristaltik usus ?
Perkusi : Apakah ada distensi abdomen?
• Infeksi : Amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale ?
• Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?

2.a.1 Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
5. Darah rutin : dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000 – 13000/mm3) dan penurunan hemoglobin serta hemtokrit.
6. Urinalisis : dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.
7. Mikrobiologi : Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2 minggu setelah onset.
8. Histologi : dapat ditemukan tanda patognomonik berupa Negri bodies (badan inklusi dalam sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus yang divaksinasi dan pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu.
9. Serologi : Dengan mendeteksi RNA virus dari saliva pasien dengan menggunakan polymerase chain reactions (PCR).
10. Cairan serebrospinal : dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan glukosa dalam batas normal.

2.a.2 Uji laboratorium
1. Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler.
2. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematocrit.
3. Panel elektrolit.
4. Skrining toksik dari serum dan urin.
5. GDA
6. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl) 7. BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat. 8. Elektrolit : K, NaKetidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang, 9. Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl ) 10. Natrium ( N 135 – 144 meq/dl. b. Tindakan Pengobatan 1) Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang digigit hewan yang menderita rabies kemungkian tidak akan menderita rabies. Orang yang digigit kelinci dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun, rubah, dan kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut mungkin saja terinfeksi rabies. 2) Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka gigitan sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan sabun, tusukan yang dalam disemprot dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita yang belum pernah mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan immunoglobulin rabies, dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan. 3) Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam setelah menjalani vaksinasi. 4) Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka risiko menderita rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin (pada hari 0 dan 2). 5) Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies diduga tidak dapat dihindarkan, tetapi beberapa orang penderita selamat. Mereka dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk diawasi terhadap gejala-gejala pada paru-paru, jantung, dan otak. Pemberian vaksin maupun imunoglobulin rabies tampaknya efektif jika suatu saat penderita menunjukkan gejala-gejala rabies. 2.b.1 Vaksinasi 2.b.1.1 Pasca Paparan (Post exposure) Secara garis besar ada 2 tipe Vaksin Anti Rabies (VAR), yaitu : a) Nerve Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet, atau bersal dari otak bayi hewan mencit, seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBV). b) Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV) 2.11.1.2 Vaksinasi Pra Paparan (Pre exposure) Untuk menghindari infeksi virus rabies, disamping memberikan VAR setelah digigit hewan tersangka rabies, pencegahan lebih dini juga dapat dilakukan dengan memberikan suntikan yang sama, tetapi dengan waktu, cara, dan dosis yang berbeda melalui profilaksis para paparan. Individu yang berisiko tinggi untuk kontak dengan virus rabies, seperti dokter hewan yang bertugas menghadapi hewan berisiko, petugas kebun binatang, petugas karantina hewan, penangkap binatang, petugas laboratorium yang bekerja dengan virus rabies, dokter dan perawat yang menangani penderita rabies, wisatawan yang berkunjung ke daerah endemis rabies seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, dan Sri langka. c. Pencegahan Untuk mencegah infeksi pada penderita yang terpapar dengan virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies, harus dilakukan perawatan luka gigitan yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan immunoglobulin.Vaksinasi perlu juga diberikan kepada individu yang berisiko tertular rabies. Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :  Dokter hewan.  Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi.  Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan.  Para penjelajah gua kelelawar.  Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun. dapat dilakukan dengan cara: f. Vaksinasi secara teratur anjing, kucing, kera dan binatang peliharaan lainnya yang berpotensi menularkan rabies melalui gigitan, dan melakukan recording vaksinasi g. Mengendalikan tingkah laku hewan peliharaan terutama anjing penjaga dari orang yang asing bagi hewan tersebut agar tidak terprovokasi untuk menggigit dengan merantainya, kecuali bila memang orang asing tersebut bermaksud tidak baik h. Tidak membiarkan hewan peliharaan berkeliaran di luar rumah i. Penertiban hewan-hewan liar dengan mengurangi jumlah populasi hewan liar j. Tidak memasukkan hewan berisiko penular rabies tanpa izin di daerah yang bebas rabies k. Bangkai hewan terinfeksi harus dikremasi/dibakar atau dikubur sedalam-dalamnya setelah didiagnosa positif. l. Vaksinasi kepada orang yang berisiko tinggi tertular rabies seperti dokter hewan, paramedis hewan, petugas lab yang menangani hewan terinfeksi, orang yang menetap selama 30 hari atau lebih di daerah tertular rabies serta para penjelajah alam dan gua kelelawar d. Penanganan Luka Pengobatan yang segera terhadap luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies.Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan pembersihan luka dan diberi desinfektan seperti alkohol, yodium, atau lainnya.Luka robek akibat gigitan hewan yang tersangka rabies tidak dibenarkan dijahit, kecuali keadaan memaksa, dapat dilakukan jahitan sementara.Diberikan juga ATS profilaksis dan antibiotik untuk infeksi bakteri pada luka. Jika seseorang digigit atau memiliki luka yang terkena air liur atau cairan tubuh hewan baik yang dicurigai menderita rabies ataupun tidak, harus dilakukan langkah-langkah pencegahan infeksi sebagai berikut: • Cuci luka gigitan atau yang terkena cairan tubuh hewan tersebut dengan sabun atau deterjen pada air yang mengalir selama sepuluh menit atau lebih. Dianjurkan untuk menggunakan air bersih, kemudian dibalut dengan perban • Segera bawa ke dokter atau rumah sakit terdekat untuk mendapat perawatan lebih lanjut. • Jika berada di daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan, luka dicuci selama mungkin dan tidak boleh dijahit karena akan memperbanyak ujung-ujung syaraf yang terbuka sebagai tempat masuknya virus kedalam sistem syaraf. Gunakan antiseptik. • Melapor kepada Dinas Peternakan atau Dinas Kesehatan setempat dan hewan yang dicurigai sebaiknya dipisahkan dan dikarantina untuk diobservasi selama setidaknya 30 hari untuk mengetahui apakah terinfeksi rabies atau tidak. BAB III KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RABIES I. PENGKAJIAN A. Pengkajian mengenai: a) Status Pernafasan b) Peningkatan tingkat pernapasan c) Takikardi d) Suhu umumnya meningkat (37,9º C) e) Menggigil f) Status Nutrisi g) kesulitan dalam menelan makanan h) berapa berat badan pasien i) mual dan muntah j) porsi makanan dihabiskan k) status gizi l) Status Neurosensori m) Adanya tanda-tanda inflamasi n) Keamanan o) Kejang p) Kelemahan q) Integritas Ego r) Klien merasa cemas s) Klien kurang paham tentang penyakitnya B. Pengkajian Fisik Neurologik : a. Tanda – tanda vital  Suhu  Pernapasan  Denyut jantung  Tekanan darah  Tekanan nadi C. Hasil pemeriksaan kepala  Fontanel : menonjol, rata, cekung  Bentuk Umum Kepala D. Reaksi pupil  Ukuran  Reaksi terhadap cahaya  Kesamaan respon E. Tingkat kesadaran  Kewaspadaan : respon terhadap panggilan  Iritabilitas  Letargi dan rasa mengantuk  Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain  Afek  Alam perasaan  Labilitas F. Aktivitas kejang  Jenis  Lamanya G. Fungsi sensoris  Reaksi terhadap nyeri  Reaksi terhadap suhu H. Refleks  Refleks tendo superfisial  Reflek patologi 3 Diagnosa Keperawatan 1) Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia 2) Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan penurunan refleks menelan 3) Demam berhubungan dengan viremia 4) Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi 5) Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan 6) Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka 4 Intervensi No. Dx. Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional 1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien bernafas tanpa ada gangguan, dengan kriteria hasil :  pasien bernafas,tanpa ada gangguan.  pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas  respirasi normal (16-20 X/menit) a. Obsevasi tanda- tanda vital pasien terutama respirasi b. Beri pasien alat bantu pernafasan seperti O2. c. Beri posisi yang nyaman. d. Tanda vital merupakan acuan untuk melihat kondisi pasien. e. O2 membantu pasien dalam bernafas. f. posisi yang nyaman akan membantu pasien dalam bernafas. 2. Gangguan pola nutrisi berhubungn dengan penurunan refleks menelan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, dengan kriteria hasil :  pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan /dibutuhkan. a. Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien. b. Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan. c. Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur. d. Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering. e. Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari. f. Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter. g. Ukur berat badan pasien setiap minggu. i. Untuk menetapkan cara mengatasinya. ii. Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien. iii. Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan iv. Untuk menghindari mual v. Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi. vi. Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah dan diharapkan intake nutrisi pasien meningkat. vii. Untuk mengetahui status gizi pasien 3. Demam berhubungan dengan viremia. Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan demam pasien teratasi, dengan criteria hasil :  Suhu tubuh normal (36 – 370C).  Pasien bebas dari demam. a. Kaji saat timbulnya demam. b. Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam c. Berikan kompres hangat d. Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter. I. untuk mengidentifikasi pola demam pasien. II. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien. III. dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan dan mempercepat penurunan suhu tubuh. IV. Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi. 4. Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi tentang penyakit. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan tingkat kecemasan keluarga pasien menurun/hilang,dengan kriteria hasil :  Melaporkan cemas berkurang sampai hilang  Melaporkan pengetahuan yang cukup terhadap penyakit pasien  Keluarga menerima keadaan panyakit yang dialami pasien. a. Kaji tingkat kecemasan keluarga. b. Jelaskan kepada keluarga tentang penyakit dan kondisi pasien. c. Berikan dukungan dan support kepada keluarga pasien. I. Untuk mengetahui tingkat cemas,dan mengambil cara apa yang akan digunakan II. informasi yang benar tentang kondisi pasien akan mengurangi tingkat kecemasan keluarga. III. Dengan dukungan dan support,akan mengurangi rasa cemas keluarga pasien. 5. Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan. Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien tidak mengalami cedera,dengan kriteria hasil :  Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang  klien tidur dengan tempat tidur pengama  Tidak terjadi serangan kejang ulang.  Suhu 36 – 37,5 º C , Nadi 60-80x/menit, Respirasi 16-20 x/menit  Kesadaran composmentis a. Identifikasi dan hindari faktor pencetus b. tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai pengaman di ruang yang tenang dan nyaman. c. anjurkan klien istirahat d. sediakan disamping tempat tidur tongue spatel dan gudel untuk mencegah lidah jatuh ke belakng apabila klien kejang. e. lindungi klien pada saat kejang dengan : I. longgarakn pakaian II. posisi miring ke satu sisi III. jauhkan klien dari alat yang dapat melukainya IV. kencangkan pengaman tempat tidur V. lakukan suction bila banyak secret f. catat penyebab mulainya kejang, proses berapa lama, adanya sianosis dan inkontinesia, deviasi dari mata dan gejala-hgejala lainnya yang timbul. g. sesudah kejang observasi TTV setiap 15-30 menit dan obseervasi keadaan klien sampai benar-benar pulih dari kejang. h. observasi efek samping dan keefektifan obat. i. observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan irama jantung. j. lakukan pemeriksaan neurologis setelah kejang k. kerja sama dengan tim : I. pemberian obat antikonvulsan dosis tinggi II. pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin, phenobarbital) III. pemberian oksigen tambahan l. pemberian cairan parenteral m. pembuatan CT scan 1. Penemuan faktor pencetus untuk memutuskan rantai penyebaran virus rabies. 2. empat yang nyaman dan tenang dapat mengurangi stimuli atau rangsangan yang dapat menimbulkan kejang 3. efektivitas energi yang dibutuhkan untuk metabolisme. 4. lidah jatung dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. n. Tindakan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya cedera fisik.dokumentasi untuk pedoman dalam penaganan berikutnya. I. tanda-tanda vital indikator terhadap perkembangan penyakitnya dan gambaran status umum klien. o. efek samping dan efektifnya obat diperlukan motitoring untuk tindakan lanjut. i.kompliksi kejang dapat terjadi depresi pernafasan dan kelainan irama jantung. p. kompliksi kejang dapat terjadi depresi pernafasan dan kelainan irama jantung. q. untuk mengantisipasi kejang, kejang berulang dengan menggunakan obat antikonvulsan baik berupa bolus, syringe pump. 6. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka Setelah diberikan tindakan keperawatan 3X24 jam diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi. Kriteria Hasil:  Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti: o Kalor,dubor,tumor,dolor,dan fungsionalasia.  TTV dalam batas normal a. Kaji tanda – tanda infeksi b. Pantau TTV,terutama suhu tubuh c. Ajarkan teknik aseptik pada pasien d. Cuci tangan sebelum memberi asuhan keperawatan ke pasien. e. Lakukan perawatan luka yang steril. I. a.Untuk mengetahui apakah pasian mengalami infeksi. Dan untuk menentukan tindakan keperawatan berikutnya. II. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahuikeadaan umum pasien. Perubahan suhu menjadi tinggi merupakan salah satu tanda – tanda infeksi. III. Meminimalisasi terjadinya infeksi IV. Mencegah terjadinya infeksi nosokomial. V. Perawatan luka yang steril meminimalisasi terjadinya infeksi. 5 Evaluasi • Dx 1 : o pasien tidak mengalami gangguan dalam bernafas o pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas. • Dx 2 : o Pasien tidak mengalami gangguan dalam makan dan minum. o Pasien bisa menelan dengan baik. Pasien tidak mengalami penurunan berat badan. • Dx 3 : o Suhu pasien normal (36-370C) o Pasien tidak mengeluh demam • Dx 4 : o Keluarga pasien tidak cemas lagi. o Keluarga pasien bisa memahami kondisi pasiendan ikut membantu dalam pemberian pengobatan. • Dx 5 : o Pasien tidak mengalami cedera. o Pasien tidak mengalami kejang • Dx 6 : o Tidak ada tanda – tanda infeksi seperti : kalor,dolor,tumor,dubor,dan fungsionalasia. o Luka pasien terjaga dan teraway BAB IV PENUTUP DAN KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan 1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. 2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit. 3. Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies. 4. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi. dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. 5. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. 6. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) jarang, sembuh. 7. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan.perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. 8. Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf pusat. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006, Rhabdoviruses, www.tulane.edu, diakses tanggal 3 Februari 2008. Anonim, 2006, Penyakit Anjing Gila, www.jakarta.go.id, diakses tanggal 3 Februari 2008. Anonim, 2007, The Big Picture Book of Viruses: Rhabdoviridae, www.virology.net, diakses tanggal 3 Febuari 2008 Anonim, 2007, Rhabdoviridae, www.wikipedia.org, diakses tanggal 3 Februari 2008 Anonim, 2007, Rabies, www.wikipedia.org, diakses tanggal 3 Februari 2008 Elcamo, E. I., 1997, Fundamentals of Microbiology, The Benjamin Cummings Publishing Company, New York Irga, 2008, Rabies, www.inwanashari.blogspot.com, diakses tanggal 29 April 2008 Jawelz,E., et. al., 1986, Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Rohiman dan Nurtjahjo, 1985, Vaksin Anti-Rabies (Human Diploid Cell) dan Kegunaannya Bagi Manusia, Medika Jurnal Kedokteran Farmasi, Jakarta BETZ CECILY L, SOWDEN LINDA A. (2002). BUKU SAKU KEPERAWATAN PEDIATRI. JAKARTA : EGC. Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa : Maulanny R.F. Jakarta : EGC. Arjatmo T.(2001). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : gaya baru Kejang Pada Anak. www. Pediatrik.com/knal.php Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta Santosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta. Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas Airlangga,Surabaya.

Baca selengkapnya......

Sabtu, 27 November 2010

ASKEP JAUNDICE

Pengertian
Kata jaundice berasal dari bahasa Perancis, dari kata jaune yang berarti kuning. Sakit kuning (jaundice) yang juga dikenal dengan ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah 1.

Etiologi
Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu. Gangguan dalam pembuangan mengakibatkan penumpukan bilirubin dalam aliran darah yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin akan menumpuk kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan perkursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibatproses fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini 2.


Patofisiologis

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, pascahepatik masih relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier 1. Jaundice disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

1. Fase Prahepatik

Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut jaundice yang disebabkan oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah) 4

a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% datang dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.

b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

2. Fase Intrahepatik

Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin 4

a. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkojugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein meningkat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.

b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak laurut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid. Reaksi konjugasi terjadi dalam retikulum endoplasmik hepatosit dan dikatalisis oleh enzim bilirubin glukuronosil transferase dalam reaksi dua-tahap.



3. Fase Pascahepatik

Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu empedu atau tumor 4

a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri men”dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkojugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair.


Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Secara klinis hiperbilirubinemia terlihat sebagai gejala kuning atau ikterus, yaitu pigmentasi kuning pada kulit dan sklera. Ikterus biasanya baru dapat dilihat kalau kadar bilrubin serum melebihi 34 hingga 43 µmol/L (2,0 hingga 2,5 mg/dL), atau sekitar dua kali batas atas kisaran normal; namun demikian, gejala ini dapat terdeteksi dengan kadar bilirubin yang lebih rendah pada pasien yang kulitnya putih dan yang menderita anemia berat. Sebaliknya, gejala ikterus sering tidak terlihat jelas pada orang-orang yang kulitnya gelap atau yang menderita edema. Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap, yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukuronid. Pada ikterus yang mencolok, kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang beredar menjadi biliverdin. Efek ini sering terlihat pada kondisi dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi berlangsung lama tau berat seperti sirosis. Gejala lain dapat muncul tergantung pada penyebabnya, misalnya:

1. peradangan hati (hepatitis) bisa menyebabkan hilangnya nafsu makan, mual muntah, dan demam 3

2. penyumbatan empedu bisa menyebabkan gejala kolestasis 3

Penilaian jaundice yang dilakukan pada bayi baru lahir, berbarengan dengan pemantauan tanda-tanda vital (detak jantung, pernapasan, suhu) bayi, minimal setiap 8-12 jam. Salah satu tanda jaundice adalah tidak segera kembalinya warna kulit setelah penekanan dengan jari. Cara menilai jaundice membutuhkan cahaya yang cukup, misalnya dengan kadar terang siang hari atau dengan cahaya fluorescent. Jika ditemukan tanda jaundice pada 24 jam pertama setelah lahir, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan melalui kulit (TcB: Transcutaneus Bilirubin) , (TSB: Total Serum Bilirubin) dan penilaian faktor resiko. Kadar bilirubin yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi si bayi.


Faktor risiko mayor 5

TSB atau TcB di high-risk zone
Jaundice dalam 24 jam pertama
Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus
Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk dapat berfungsi normal
Usia gestasi 35-36 minggu
Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung
Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang dibantu vakum
Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan
Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina

Faktor risiko minor 5

TSB atau TcB di high intermediate-risk zone
Usia gestasi 37-38 minggu
Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB
Riwayat jaundice pada saudara sekandung
Bayi besar dari ibu yang diabetik
Usia ibu ≥ 25 tahun
Bayi laki-laki

Pengobatan

Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer) dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) mg/hari SK untuk 2-3hari 1.

Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase bilier paliatip dapet dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaranbatu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengenluaran batu di saluran empedu.



Pencegahan

Cara-cara mencegah peningkatan kadar pigmen empedu (bilirubin) dalam darah / mengatasi hiperbilirubinemia :

1. Mempercepat proses konjugasi / meningkatkan kemampuan kinerja enzim yang terlibat dalam pengolahan pigmen empedu (bilirubin).

2. Mengupayakan perubahan pigmen empedu (bilirubin) tidak larut dalam air menjadi larut dalam air, agar memudahkan proses pengeluaran (ekskresi), dengan cara pengobatan sinar (foto terapi).

3. Membuang pigmen empedu (bilirubin) dengan cara transfusi tukar.

4. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi





Daftar Pustaka

[1]. Sudoyo,Aru.W, dkk, eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Dep. Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta, 2006, vol. I, hlm. 422-425

[2]. Kaplain, Lee M., Isselbacher, Kurt.J, “Harrison”, in Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, H.A,Ahmad, eds., EGC : Jakarta, 2000, vol.I, hlm. 263-269

[3]. Sakit Kuning (Jaundice), http://info-sehat.com/content.php?s_sid=1064, acces : 05 November 2007

[4]. Jaundice, http://en.wikipedia.org/wiki/Jaundice, last modified : 30 November 2007, acces : 05 Nopember 2007

[5]. dr. Itqiyah, Nurul, Jaundice / Kuning, http://www.sehatgroup.web.id/guidelines/isiGuide.asp?guideID=14, last modified : 15 Januari 2007, acces : 05 November 2007

[6] Quality improvement report: The “jaundice hotline” for the rapid assessment of patients with jaundice, doi:10.1136/bmj.325.7357.213 BMJ 2002;325;213-215 BMJ, volume 325, 27 July 2002, halaman 213


http://karyatulisilmiahkeperawatan.blogspot.com/2009/05/jaundice.html
Disusun oleh:
Nama : Sigit Purnomo
TK : 2A
Nim : PO. 032 0109 032

Pengertian
Kata jaundice berasal dari bahasa Perancis, dari kata jaune yang berarti kuning. Sakit kuning (jaundice) yang juga dikenal dengan ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah 1.

Etiologi
Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu. Gangguan dalam pembuangan mengakibatkan penumpukan bilirubin dalam aliran darah yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin akan menumpuk kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan perkursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibatproses fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini 2.


Patofisiologis

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, pascahepatik masih relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier 1. Jaundice disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

1. Fase Prahepatik

Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut jaundice yang disebabkan oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah) 4

a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% datang dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.

b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

2. Fase Intrahepatik

Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin 4

a. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkojugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein meningkat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.

b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak laurut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid. Reaksi konjugasi terjadi dalam retikulum endoplasmik hepatosit dan dikatalisis oleh enzim bilirubin glukuronosil transferase dalam reaksi dua-tahap.



3. Fase Pascahepatik

Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu empedu atau tumor 4

a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri men”dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkojugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair.


Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Secara klinis hiperbilirubinemia terlihat sebagai gejala kuning atau ikterus, yaitu pigmentasi kuning pada kulit dan sklera. Ikterus biasanya baru dapat dilihat kalau kadar bilrubin serum melebihi 34 hingga 43 µmol/L (2,0 hingga 2,5 mg/dL), atau sekitar dua kali batas atas kisaran normal; namun demikian, gejala ini dapat terdeteksi dengan kadar bilirubin yang lebih rendah pada pasien yang kulitnya putih dan yang menderita anemia berat. Sebaliknya, gejala ikterus sering tidak terlihat jelas pada orang-orang yang kulitnya gelap atau yang menderita edema. Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap, yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukuronid. Pada ikterus yang mencolok, kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang beredar menjadi biliverdin. Efek ini sering terlihat pada kondisi dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi berlangsung lama tau berat seperti sirosis. Gejala lain dapat muncul tergantung pada penyebabnya, misalnya:

1. peradangan hati (hepatitis) bisa menyebabkan hilangnya nafsu makan, mual muntah, dan demam 3

2. penyumbatan empedu bisa menyebabkan gejala kolestasis 3

Penilaian jaundice yang dilakukan pada bayi baru lahir, berbarengan dengan pemantauan tanda-tanda vital (detak jantung, pernapasan, suhu) bayi, minimal setiap 8-12 jam. Salah satu tanda jaundice adalah tidak segera kembalinya warna kulit setelah penekanan dengan jari. Cara menilai jaundice membutuhkan cahaya yang cukup, misalnya dengan kadar terang siang hari atau dengan cahaya fluorescent. Jika ditemukan tanda jaundice pada 24 jam pertama setelah lahir, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan melalui kulit (TcB: Transcutaneus Bilirubin) , (TSB: Total Serum Bilirubin) dan penilaian faktor resiko. Kadar bilirubin yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi si bayi.


Faktor risiko mayor 5

TSB atau TcB di high-risk zone
Jaundice dalam 24 jam pertama
Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus
Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk dapat berfungsi normal
Usia gestasi 35-36 minggu
Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung
Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang dibantu vakum
Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan
Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina

Faktor risiko minor 5

TSB atau TcB di high intermediate-risk zone
Usia gestasi 37-38 minggu
Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB
Riwayat jaundice pada saudara sekandung
Bayi besar dari ibu yang diabetik
Usia ibu ≥ 25 tahun
Bayi laki-laki

Pengobatan

Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer) dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) mg/hari SK untuk 2-3hari 1.

Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase bilier paliatip dapet dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaranbatu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengenluaran batu di saluran empedu.



Pencegahan

Cara-cara mencegah peningkatan kadar pigmen empedu (bilirubin) dalam darah / mengatasi hiperbilirubinemia :

1. Mempercepat proses konjugasi / meningkatkan kemampuan kinerja enzim yang terlibat dalam pengolahan pigmen empedu (bilirubin).

2. Mengupayakan perubahan pigmen empedu (bilirubin) tidak larut dalam air menjadi larut dalam air, agar memudahkan proses pengeluaran (ekskresi), dengan cara pengobatan sinar (foto terapi).

3. Membuang pigmen empedu (bilirubin) dengan cara transfusi tukar.

4. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi





Daftar Pustaka

[1]. Sudoyo,Aru.W, dkk, eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Dep. Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta, 2006, vol. I, hlm. 422-425

[2]. Kaplain, Lee M., Isselbacher, Kurt.J, “Harrison”, in Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, H.A,Ahmad, eds., EGC : Jakarta, 2000, vol.I, hlm. 263-269

[3]. Sakit Kuning (Jaundice), http://info-sehat.com/content.php?s_sid=1064, acces : 05 November 2007

[4]. Jaundice, http://en.wikipedia.org/wiki/Jaundice, last modified : 30 November 2007, acces : 05 Nopember 2007

[5]. dr. Itqiyah, Nurul, Jaundice / Kuning, http://www.sehatgroup.web.id/guidelines/isiGuide.asp?guideID=14, last modified : 15 Januari 2007, acces : 05 November 2007

[6] Quality improvement report: The “jaundice hotline” for the rapid assessment of patients with jaundice, doi:10.1136/bmj.325.7357.213 BMJ 2002;325;213-215 BMJ, volume 325, 27 July 2002, halaman 213


http://karyatulisilmiahkeperawatan.blogspot.com/2009/05/jaundice.html
Disusun oleh:
Nama : Sigit Purnomo
TK : 2A
Nim : PO. 032 0109 032

Baca selengkapnya......
BRONKOPNEUMONIA

A. Pengertian
Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru ( Betz C, 2002 )
Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang terjadi pada anak. (Suriadi Yuliani, 2001)
Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (IKA, 2001)
Jadi bronkopnemonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru terutama alveoli atau parenkim yang sering menyerang pada anak - anak
Etiologi
Pneumonia bisa dikatakan sebagai komplikasi dari penyakit yang lain ataupun sebagai penyakit yang terjadi karena etiologi di bawah ini
Sebenarnya pada diri manusia sudah ada kuman yang dapat menimbulkan pneumonia sedang timbulnya setelah ada faktor- faktor prsesipitasi yang dapat menyebabkan timbulnya.
 Bakteri
Organisme gram positif yang menyebabkan pneumonia bakteri adalah steprokokus pneumonia, streptococcus aureus dan streptococcus pyogenis.
 Virus
Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia yang paling umum ini disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus yang merupakan sebagai penyebab utama pneumonia virus.
 Jamur
Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung.
 Protozoa
Ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada penderita AIDS.



C. Manifestasi klinis
 Pneumonia bakteri
Gejala awal :
- Rinitis ringan
- Anoreksia
- Gelisah
Berlanjut sampai :
- Demam
- Malaise
- Nafas cepat dan dangkal ( 50 – 80 )
- Ekspirasi bebunyi
- Lebih dari 5 tahun, sakit kepala dan kedinginan
- Kurang dari 2 tahun vomitus dan diare ringan
- Leukositosis
- Foto thorak pneumonia lobar
 Pneumonia virus
Gejala awal :
- Batuk
- Rinitis
Berkembang sampai
- Demam ringan, batuk ringan, dan malaise sampai demam tinggi, batuk hebat dan lesu
- Emfisema obstruktif
- Ronkhi basah
- Penurunan leukosit
 Pneumonia mikoplasma
Gejala awal :
- Demam
- Mengigil
- Sakit kepala
- Anoreksia
- Mialgia
Berkembang menjadi :
- Rinitis
- Sakit tenggorokan
- Batuk kering berdarah
- Area konsolidasi pada pemeriksaan thorak
D. Patofisiologi
Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme patogen yaitu virus dan stapilococcus aurens, H. Influenza dan streptococcus pneumoniae bakteri.
Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multipel lobus. Terjadinya destruksi sel dengan menanggalkan debris celluler ke dalam lumen yang mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan nafas.
Pada anak kondisi ini dapat akut maupun kronik misal pad AIDS, Cystic Fibrosis, aspirasi benda asing dan congenital yang dapat meningkatkan risiko pneumonia.
E. Pemeriksaan diagnostik
1. Foto polos : digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status pulmoner
2. Nilai analisa gas darah: untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan dengan oksigenasi
3. Hitung darah lengkap dan hitung jenis: digunakan untuk menetapkan adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi
4. Pewarnaan gram: untuk seleksi awal anti mikroba
5. Tes kulit untuk tuberkulin: untuk mengesampingkan kemungkinan terjadi tuberkulosis jika anak tidak berespon terhadap pengobatan
6. jumlah lekosit: terjadi lekositosis pada pneumonia bakterial
7. Tes fungsi paru: digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan luas dan beratnya penyakit dan membantu memperbaiki keadaan.
8. Spirometri statik digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi
9. Kultur darah spesimen darah untuk menetapkan agen penyebab seperti
virus





Pathway





F. Penatalaksanaan medis
 Pengobatan supportive bila virus pneumonia
 Bila kondisi berat harus dirawat
 Berikan oksigen, fisiotherapi dada dan cairan intravena
 Antibiotik sesuai dengan program
 Pemeriksaan sensitivitas untuk pemberian antibiotik

G. Penatalaksanaan perawatan
1. Pengkajian
- Kaji status pernafasan
- Kaji tanda- tanda distress pernafasan
- Kaji adanya demam, tachicardia, malaise, anoreksia, kegeisahan
2. Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret di jalan nafas
2. Gangguan petukaran gas berhubungan dengan meningkatnya sekresi dan akumulasi exudat
3. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, menurunnya intake dan tachipnea
4. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus
5. Risiko tinggi terjadi kerussakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest total
6. Risiko tinggi terjadi cedera berhubungandengan kejang
3. Perencanaan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret di jalan nafas
Tujuan: setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam jalan nafas menjadi bersih
Kriteria:
- Suara nafas bersih tidak ada ronkhi atau rales, wheezing
- Sekret di jalan nafas bersih
- Cuping hidung tidak ada
- Tidak ada sianosis

Intervensi:
- Kaji status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate, penggunaan otot bantu nafas, warna kulit
- Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
- Posisikan kepala lebih tinggi
- Lakukan postural drainage
- Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi dada
- Jaga humidifasi oksigen yang masuk
- Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya penumpukan cairan di alveoli paru
Tujuan: setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam pertukaran gas dalam alveoli adekuat.
Kriteria:
- Akral hangat
- Tidak ada tanda sianosis
- Tidak ada hipoksia jaringan
- Saturasi oksigen perifer 90%
Intervensi:
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Keluarkan lendir jika ada dalam jalan nafas
- Periksa kelancaran aliran oksigen 5-6 liter per menit
- Konsul dokter jaga jika ada tanda hipoksia/ sianosis
- Awasi tingkat kesadaran klien
3. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, menurunnya intake dan tachipnea
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kekurangan volume cairan.
Kriteria hasil:
- Tidak ada tanda dehidrasi
- Suhu tubuh normal 36,5-37 0C
- Kelopak mata tidak cekung
- Turgor kulit baik
- Akral hangat
Intervensi:
- Kaji adanya tanda dehidrasi
- Jaga kelancaran aliran infus
- Periksa adanya tromboplebitis
- Pantau tanda vital tiap 6 jam
- Lakukan kompres dingin jika terdapat hipertermia suhu diatas 38 C
- Pantau balance cairan
- Berikan nutrisi sesuai diit
- Awasi turgor kulit
4. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi infeksi akibat pemasangan infus.
Kriteria hasil:
- Aliran infus lancar
- Tidak ada tanda infeksi pada tempat pemasangan infus
- Suhu tubuh dalam batas normal
- Tidak ada tromboplebitis
Intervensi:
- Awasi adanya tanda- tanda infeksi pada tempat pemasangan infus
- Jaga kelancaran aliran infus
- Jaga kenbersihan tempat pemasangan infus
- Jaga tempat pemasangan infus tetap kering
- Tutup tempat pemasangan infus dengankasa betadin
- Ganti lokasi pemasangan infus tiap 3 x 24 jam
5. Risiko tinggi terjadi kerussakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest total
Tujuan: seletah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kerusakan integritas kulit
Kriteria hasil:
- Tidak terdapat luka dekubitus pda lokasi yang tertekan
- Warna kulit daerah tertekan tidak hipoksia, kemerahan
Intervensi:
- Lakukan massage pada kulit tertekan
- Monitor adanya luka dekubitus
- Jaga kulit tetap kering
- Berikan kamfer spiritus pada punggung dan daerah tertekan
- Jaga kebersihan dan kekencangan linen
6. Risiko tinggi terjadi cedera berhubungandengan kejang
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi injuri akibat kejang
Kriteria hasil:
- Tidak ada injuri pada bagian tubuh jika terjadi kejang
- Orang tua selalu mengawasi disamping anaknya
- Orang tua melapor jika terjadi kejang
- Tempat tidur terpasang pengaman
Intervensi:
- Pasang pengaman di sisi tempat tidur
- Anjurkan orang tua untuk melapor jika terjadi kejang
- Siapkan sudip lidah/ pasang pada mulut pasien
- Kolaborasi berikan anti kejang luminal dan diazepam
- Berikan obat sesuai program
- Awasi adanya kejang tiap 15 menit sekali





Daftar pustaka

1. Suriadi, Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV Sagung Seto;2001
2. Staf Pengajar FKUI. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3. Jakarta:
3. Infomedika;2000

4. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC; 1997
5. Betz & Sowden. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC;2002
6. Wong and Whaley. ( 1995 ). Clinical Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia:

BRONKOPNEUMONIA

A. Pengertian
Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru ( Betz C, 2002 )
Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang terjadi pada anak. (Suriadi Yuliani, 2001)
Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (IKA, 2001)
Jadi bronkopnemonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru terutama alveoli atau parenkim yang sering menyerang pada anak - anak
Etiologi
Pneumonia bisa dikatakan sebagai komplikasi dari penyakit yang lain ataupun sebagai penyakit yang terjadi karena etiologi di bawah ini
Sebenarnya pada diri manusia sudah ada kuman yang dapat menimbulkan pneumonia sedang timbulnya setelah ada faktor- faktor prsesipitasi yang dapat menyebabkan timbulnya.
 Bakteri
Organisme gram positif yang menyebabkan pneumonia bakteri adalah steprokokus pneumonia, streptococcus aureus dan streptococcus pyogenis.
 Virus
Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia yang paling umum ini disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus yang merupakan sebagai penyebab utama pneumonia virus.
 Jamur
Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung.
 Protozoa
Ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada penderita AIDS.



C. Manifestasi klinis
 Pneumonia bakteri
Gejala awal :
- Rinitis ringan
- Anoreksia
- Gelisah
Berlanjut sampai :
- Demam
- Malaise
- Nafas cepat dan dangkal ( 50 – 80 )
- Ekspirasi bebunyi
- Lebih dari 5 tahun, sakit kepala dan kedinginan
- Kurang dari 2 tahun vomitus dan diare ringan
- Leukositosis
- Foto thorak pneumonia lobar
 Pneumonia virus
Gejala awal :
- Batuk
- Rinitis
Berkembang sampai
- Demam ringan, batuk ringan, dan malaise sampai demam tinggi, batuk hebat dan lesu
- Emfisema obstruktif
- Ronkhi basah
- Penurunan leukosit
 Pneumonia mikoplasma
Gejala awal :
- Demam
- Mengigil
- Sakit kepala
- Anoreksia
- Mialgia
Berkembang menjadi :
- Rinitis
- Sakit tenggorokan
- Batuk kering berdarah
- Area konsolidasi pada pemeriksaan thorak
D. Patofisiologi
Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme patogen yaitu virus dan stapilococcus aurens, H. Influenza dan streptococcus pneumoniae bakteri.
Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multipel lobus. Terjadinya destruksi sel dengan menanggalkan debris celluler ke dalam lumen yang mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan nafas.
Pada anak kondisi ini dapat akut maupun kronik misal pad AIDS, Cystic Fibrosis, aspirasi benda asing dan congenital yang dapat meningkatkan risiko pneumonia.
E. Pemeriksaan diagnostik
1. Foto polos : digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status pulmoner
2. Nilai analisa gas darah: untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan dengan oksigenasi
3. Hitung darah lengkap dan hitung jenis: digunakan untuk menetapkan adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi
4. Pewarnaan gram: untuk seleksi awal anti mikroba
5. Tes kulit untuk tuberkulin: untuk mengesampingkan kemungkinan terjadi tuberkulosis jika anak tidak berespon terhadap pengobatan
6. jumlah lekosit: terjadi lekositosis pada pneumonia bakterial
7. Tes fungsi paru: digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan luas dan beratnya penyakit dan membantu memperbaiki keadaan.
8. Spirometri statik digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi
9. Kultur darah spesimen darah untuk menetapkan agen penyebab seperti
virus





Pathway





F. Penatalaksanaan medis
 Pengobatan supportive bila virus pneumonia
 Bila kondisi berat harus dirawat
 Berikan oksigen, fisiotherapi dada dan cairan intravena
 Antibiotik sesuai dengan program
 Pemeriksaan sensitivitas untuk pemberian antibiotik

G. Penatalaksanaan perawatan
1. Pengkajian
- Kaji status pernafasan
- Kaji tanda- tanda distress pernafasan
- Kaji adanya demam, tachicardia, malaise, anoreksia, kegeisahan
2. Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret di jalan nafas
2. Gangguan petukaran gas berhubungan dengan meningkatnya sekresi dan akumulasi exudat
3. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, menurunnya intake dan tachipnea
4. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus
5. Risiko tinggi terjadi kerussakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest total
6. Risiko tinggi terjadi cedera berhubungandengan kejang
3. Perencanaan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret di jalan nafas
Tujuan: setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam jalan nafas menjadi bersih
Kriteria:
- Suara nafas bersih tidak ada ronkhi atau rales, wheezing
- Sekret di jalan nafas bersih
- Cuping hidung tidak ada
- Tidak ada sianosis

Intervensi:
- Kaji status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate, penggunaan otot bantu nafas, warna kulit
- Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
- Posisikan kepala lebih tinggi
- Lakukan postural drainage
- Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi dada
- Jaga humidifasi oksigen yang masuk
- Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya penumpukan cairan di alveoli paru
Tujuan: setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam pertukaran gas dalam alveoli adekuat.
Kriteria:
- Akral hangat
- Tidak ada tanda sianosis
- Tidak ada hipoksia jaringan
- Saturasi oksigen perifer 90%
Intervensi:
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Keluarkan lendir jika ada dalam jalan nafas
- Periksa kelancaran aliran oksigen 5-6 liter per menit
- Konsul dokter jaga jika ada tanda hipoksia/ sianosis
- Awasi tingkat kesadaran klien
3. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, menurunnya intake dan tachipnea
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kekurangan volume cairan.
Kriteria hasil:
- Tidak ada tanda dehidrasi
- Suhu tubuh normal 36,5-37 0C
- Kelopak mata tidak cekung
- Turgor kulit baik
- Akral hangat
Intervensi:
- Kaji adanya tanda dehidrasi
- Jaga kelancaran aliran infus
- Periksa adanya tromboplebitis
- Pantau tanda vital tiap 6 jam
- Lakukan kompres dingin jika terdapat hipertermia suhu diatas 38 C
- Pantau balance cairan
- Berikan nutrisi sesuai diit
- Awasi turgor kulit
4. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi infeksi akibat pemasangan infus.
Kriteria hasil:
- Aliran infus lancar
- Tidak ada tanda infeksi pada tempat pemasangan infus
- Suhu tubuh dalam batas normal
- Tidak ada tromboplebitis
Intervensi:
- Awasi adanya tanda- tanda infeksi pada tempat pemasangan infus
- Jaga kelancaran aliran infus
- Jaga kenbersihan tempat pemasangan infus
- Jaga tempat pemasangan infus tetap kering
- Tutup tempat pemasangan infus dengankasa betadin
- Ganti lokasi pemasangan infus tiap 3 x 24 jam
5. Risiko tinggi terjadi kerussakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest total
Tujuan: seletah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kerusakan integritas kulit
Kriteria hasil:
- Tidak terdapat luka dekubitus pda lokasi yang tertekan
- Warna kulit daerah tertekan tidak hipoksia, kemerahan
Intervensi:
- Lakukan massage pada kulit tertekan
- Monitor adanya luka dekubitus
- Jaga kulit tetap kering
- Berikan kamfer spiritus pada punggung dan daerah tertekan
- Jaga kebersihan dan kekencangan linen
6. Risiko tinggi terjadi cedera berhubungandengan kejang
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi injuri akibat kejang
Kriteria hasil:
- Tidak ada injuri pada bagian tubuh jika terjadi kejang
- Orang tua selalu mengawasi disamping anaknya
- Orang tua melapor jika terjadi kejang
- Tempat tidur terpasang pengaman
Intervensi:
- Pasang pengaman di sisi tempat tidur
- Anjurkan orang tua untuk melapor jika terjadi kejang
- Siapkan sudip lidah/ pasang pada mulut pasien
- Kolaborasi berikan anti kejang luminal dan diazepam
- Berikan obat sesuai program
- Awasi adanya kejang tiap 15 menit sekali





Daftar pustaka

1. Suriadi, Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV Sagung Seto;2001
2. Staf Pengajar FKUI. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3. Jakarta:
3. Infomedika;2000

4. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC; 1997
5. Betz & Sowden. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC;2002
6. Wong and Whaley. ( 1995 ). Clinical Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia:

Baca selengkapnya......

Keponakan Ku

















Baca selengkapnya......